TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI menilai penerbitan obligasi daerah merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan pemerintah untuk mempercepat pembangunan daerah.
Hal ini tertuang dalam Expert Meeting yang digelar Komite IV DPD RI dengan tema “Penguatan Keuangan Daerah”, di Ruang Rapat Komite IV, Komplek Parlemen Senayan, Selasa (31/5/2016).
Rapat tersebut dipimpin oleh Wakil Ketua Komite IV DPD Ghazali Abas dan dihadiri oleh PT Penilai Harga Efek Indonesia (Indonesia Bond Pricing Agency), Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Badan Pengelola Keuangan & Aset Daerah Provinsi DKI Jakarta.
Kepala Eksekutif Pasar Modal-OJK, Nurhaida memaparkan upaya penguatan keuangan daerah salah satunya adalah dengan obligasi daerah.
Masyarakat ditempatkan sebagai investor yang akan membiayai proyek pembangunan di daerah, dengan memberikan keuntungan berupa baik di awal maupun di akhir investasi.
"Obligasi daerah adalah Surat Utang Negara kepada investor yang didalam hal ini kita harapkan masyarakat, nah obligasi daerah ini digunakan untuk proyek pembangunan daerah yang berpotensi meningkatkan pendapatan daerah. Sehingga utang pemerintah ke investor tersebut bisa dilunasi dalam periode yang telah ditentukan," jelasnya.
Ia menambahkan, masyarakat akan mendapatkan keuntungan berupa bunga sebesar lima persen per enam bulan dan di akhir periode akan dibayar bunga beserta uang investasi di awal. Selain itu, sebagai bukti pemerintah akan mengeluarkan surat bukti utang.
"Surat bukti utang akan diberikan dengan periode waktu tertentu misal dengan periode 3, 5 dan 10 tahun. Maka selama itu masyarakat dapat menerima benefit berupa bunga dan di akhir periode dibayarkan lunas utang pemerintah ke masyarakat," tambahnya.
Menurut Nurhaida, penerbitan obligasi daerah melibatkan berbagai pihak yaitu Pemda, DPRD, Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Keuangan.
Terkait dengan belum adanya obligasi daerah yang terbit saat ini, menurut Nurhaida disebabkan karena banyak persyaratan yang belum dapat dipenuhi pemda.
"Salah satu syarat adalah adanya unit khusus di pemda yang khusus menangani obligasi, pemda harus persiapkan kegiatan yang akan dibiayai obligasi daerah, ada kerangka acuan kerjanya, perhitungan batas kumulatif pinjaman, ada klausul khusus dan objek pembangunan daerah juga harus memiliki potensi untuk meningkatkan pemasukan daerah seperti jalan tol atau rumah sakit," jelasnya.
Sementara itu Kepala Departemen Penerbitan Surat Utang OJK, Yunita Gandasari, menyampaikan pentingnya obligasi untuk membangun daerah.
"Karena harus ada dana untuk membangun infrastruktur, pembangunan infrastruktur bisa dijadikan underlaying aset untuk pertimbangan penerbitan obligasi selanjutnya," jelasnya.
"Ada dua jenis obligasi yaitu obligasi korporasi dan obligasi daerah. Perbedaannya adalah obligasi korporasi diterbitkan oleh perusahaan untuk mengembangkan perusahaan, sedangkan obligasi daerah diterbitkan pemda untuk mengembangkan daerah," jelasnya.
Saat ini dibutukan perda terkait dengan adanya obligasi daerah. Hal ini menjadi tantangan bagi DPRD.
"Namun tidak ada yang perlu ditakutkan sebenarnya, karena dengan litigasi risiko yang baik, manajemen yang bagus maka obligasi daerah merupakan salah satu jalan untuk percepatan pembangunan," paparnya.
Sementara itu Direktur Utama Indonesia Bond Pricing Agency, Ignatius Girendroheru menjelaskan tren pertumbuhan obligasi di Indonesia di tiap tahun menunjukkan peningkatan.
Hal ini membuktikan kebutuhan obligasi dari korporasi dan pemerintah meningkat.
Sedangkan untuk dan yield atau tingkat pengembalian kondisi pasar cukup stabil yang dilihat dari inflasi dan BI rate, salah satu faktor ini mempengaruhi obligasi pemerintah dan obligasi korporasi.
"Obligasi begitu diterbitkan maka obligasi dapat diperdagangkan, dari data saat ini perdagangan obligasi 13,8 triliun per hari di pasar sekunder untuk obligasi pemerintah, sedangkan obligasi korporasi 5 hingga 6 triliun perhari, ini membuktikan pasarnya cukup aktif," kata Ignatius.
Ia justru menyayangkan karena profil investor untuk obligasi pemerintah saat ini sebesar 38,1 persen atau Rp 619 triliun dimiliki oleh asing, sisanya dimiliki reksadana, perseorangan, Bank Indonesia dan lain-lain.
Di kesempatan yang sama hadir wakil Badan Pengelolaan Keuangan Dan Aset Daerah Provinsi DKI Jakarta Michael Rolandi.
Menurutnya, pemprov DKI Jakarta pada tahun 2011 lalu nyaris mengeluarkan obligasi karena telah memenuhi berbagai persyaratan. Namun, proses hingga kini tertunda akibat pergantian pimpinan pada pilkada 2012.
"Kami sudah memegang persetujuan dari DPRD, dan persetujuan prinsip Kemendagri atas perintah Kemenkeu dan Kemenkeu sudah menerbitkan izinnya untuk obligasi daerah, memang proses dari 2010 kita akan biayai yang kita anggap perlu, di antaranya RS Pasar Rebo, Terminal Pulau Gebang, rusun, nilai waktu itu Rp 1,7 triliun, namun karena ada pergantian Pimpinan DKI 2012 makanya terpending prosesnya hinggga saat ini," katanya.
Diakhir acara, Senator asal DIY, Hafidz Ashrom menyarankan agar pengelolaan obligasi daerah dilakukan secara independen bukan dikelola oleh BUMD.
"BUMD sarat kepentingan karena dipilih oleh pimpinan eksekutif seperti bupati, wali kota atau gubernur. Maka sebaiknya dikelola oleh independen sehingga obligasi daerah benar-benar bisa dijaga kewajiban pembayaran utang dan bunga yang jatuh tempo," ungkapnya.