Laporan wartawan Tribunnews.com, Endrapta Pramudhiaz
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ekonom Bright Institute Awalil Rizky menilai pemerintah perlu mempertimbangkan untuk menunda rencana kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen yang direncanakan berlaku mulai 1 Januari 2025.
Menurutnya, keputusan ini perlu dipertimbangkan mengingat kondisi daya beli masyarakat yang stagnan, bahkan cenderung melemah sepanjang tahun ini.
Selain itu, perekonomian Indonesia secara keseluruhan juga masih menghadapi tantangan.
Baca juga: PPN 12 Persen Tahun Depan Bisa Bikin Penjualan Mobil Melorot
"Permintaan kenaikan tarif PPN 12 persen ditunda sebenarnya cukup masuk akal dan perlu ditimbang oleh Pemerintah" kata Awalil kepada Tribunnews, Jumat (15/11/2024).
Namun, ia juga memahami bahwa pemerintah sedang menghadapi kesulitan fiskal.
Peningkatan pendapatan negara makin sulit dicapai, sedangkan belanja negara diperkirakan akan terus meningkat.
"Ada penambahan birokrasi serta janji-janji besar yang mau diwujudkan, yang berdampak tambahan belanja atau pengeluaran negara," ujar Awalil.
Awalil menekankan bahwa sebelum menaikkan tarif PPN, pemerintah seharusnya lebih dulu membenahi kualitas belanja negara.
Kualitas belanja yang baik mencakup aspek efektivitas dan efisiensi.
Jika nominal belanja dapat ditekan, tetapi tetap mampu menghasilkan hasil yang diinginkan, kondisi fiskal akan membaik.
"Dari kondisi yang membaik tersebut, maka ruang kebijakan menjadi lebih luas, berbagai opsi menjadi lebih terbuka," ucap Awalil.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memastikan tarif Pajak Pertambahan Nilai atau PPN 12 persen akan berlaku mulai 1 Januari 2025.
"Sudah ada Undang-undangnya, kita perlu siapkan agar itu bisa dijalankan, tapi dengan penjelasan yang baik sehingga kita tetap bisa. Bukannya membabi buta," kata Sri Mulyani dalam Rapat dengan Komisi XI DPR RI, dikutip Kamis (14/11/2024).