TRIBUNNEWS.COM, PEKANBARU- Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) RI Suryamin mengatakan, pertumbuhan ekonomi wilayah Sumatera dalam tiga tahun terakhir melambat dari 4,95 persen pada 2013, menjadi 4,58 persen pada 2014, lalu turun menjadi 3,54 persen pada 2015.
"Laju pertumbuhan ekonomi di Sumatera tersebut tercatat lebih rendah dibandingkan laju pertumbuhan nasional sebesar 5,56 persen tahun 2013, lalu 5,02 persen tahun 2014 dan 4,79 persen tahun 2015," paparnya di acara rapat konsultasi regional Produk Regional Bruto-Indikator Sosial Ekonomi (Konreg ) PDRB-ISE se-Sumatera, Kamis (2/6/2016).
Menurut dia, perlambatan pertumbuhan ekonomi secara nasional dipicu oleh kondisi ekonomi global yang masih ambigu.
Juga harga-harga komoditas dunia dalam beberapa tahun terakhir cenderung turun sehingga memberikan tekanan terhadap perekonomian Indonesia.
Sebab, ekspor barang Indonesia yang masih mengandalkan komoditas berbasis sumber daya alam.
Kondisi ini juga, katanya, terjadi di Sumatera karena sebagian besar komoditas ekspornya adalah berupa kelapa sawit, tembakau, minyak bumi, timah, bauksit, batu bara, dan gas alam.
"Namun demikian, kita patut bersyukur, di saat ekonomi Indonesia mendapat tantangan untuk memperoleh devisa dari ekspor komoditas, arus wisatawan ke Indonesia dan negara-negara Asia Pasifik lainnya diproyeksikan tetap tumbuh dengan baik dalam beberapa tahun ke depan," kata Suryamin.
Hal ini tentunya, kata Suryamin menjadi peluang bagi Indonesia untuk memacu pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan perolehan devisa melalui ekspor jasa pariwisata.
Ia memandang pertumbuhan ekonomi nasional hendaknya diturunkan dari pembangunan yang berkualitas.
Pembangunan haruslah bersifat inklusif dengan melibatkan seluruh elemen bangsa, dimana tidak ada golongan yang termarginalkan, serta berkelanjutan yaitu dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan.
"Meskipun dalam beberapa triwulan terakhir ini terjadi perlambatan ekonomi Indonesia, namun Indonesia merupakan emerging economies sekaligus anggota G-20 yang pertumbuhan ekonominya relatif tinggi dan cukup stabil, yakni rata-rata sekitar 5,52% dalam kurun waktu lima tahun terakhir (2011-2015)," katanya.
Meski perekonomian melaju relatif baik, ketimpangan yang diindikasikan dengan gini ratio tercatat sebesar 0,40 pada tahun 2015.
Selain itu, kerusakan lingkungan seperti deforestasi hutan meningkat tajam, begitu pula dengan emisi CO2 yang meningkat hampir tiga kali lipat selama lebih dari dua dekade terakhir, diperparah lagi dengan kebakaran hutan yang melanda wilayah Sumatera dan Kalimantan.