Untuk itu, ia meminta Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mencermati hal tersebut.
"Dominan dan monopoli. Ini perlu disorot habis-habisan oleh KPPU," pungkasnya.
Senada hal itu, Chairman Mastel Institute, Nonot Harsono, juga menilai skema network sharing dapat menciptakan efisiensi sehingga mengurangi impor perangkat base transceiver station (BTS).
“Tidak berdasar jika ada pandangan bahwa network sharing berpotensi mengurangi PNBP dari BHP frekuensi. Kebijakan network sharing dengan sharing perangkat BTS akan sangat menghemat belanja BTS sehingga mengurangi impor,” kata Nonot Harsono.
Nonot juga menyoroti betapa pentingnya kedaulatan nasional dalam hal penyediaan backbone nasional.
Mastel tidak ingin jika penyedia jaringan bakcbone di Indonesia diserahkan ke pemain asing. Sayangnya, banyak pemangku kepentingan yang belum mengetahui betapa pentingnya Telkom sebagai penyedia backbone nasional.
"Amat penting bagi penentu kebijakan dan para pemangku kepentingan untuk menyadari perbedaan peran antara Telkom dengan operator lainnya. Meski peran besarnya menjadi kabur karena selain sebagai backbone nasional, Telkom juga melayani masyarakat secara langsung," kata Nonot.
Selain Telkom, pemain operator lain juga harus berperan untuk membangun jaringan akses. "Penataan jaringan nasional yang baik dan benar akan menempatkan BUMN Telkom sbg jalan TOL broadband nasional. Sementara puluhan pemain akses fokus membangun jaringan akses, yang bisa berupa ribuan BTS di ujung-ujung jaringan milik PT Telkom," lanjutnya.
Tidak pantas pula backbone nasional ini diberikan kepada Google-fiber atau pun kongsi Microsoft-Facebook yang bila indonesia masuk ke TPP (trans pacific partnership), sangat mungkin dua raksasa itu meminta izin utk membangun jaringan fiber optik disini.
"Jika itu terjadi, bisa berakhir dominasi Telkom dan kedaulatan cyber makin jauh dari jangkauan tangan indonesia," katanya.