TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Pengamat hukum, D Taufan mengatakan demi iklim investasi yang sehat, selain menjaga stabilitas sosial politik, pemerintah juga harus menjamin kepastian hukum bagi pelaku usaha dan investor.
"Hal ini dirasakan penting untuk menjaga keadilan bagi pelaku investasi, terutama yang sudah menjalankan semua aturan dan regulasi yang ditetapkan pemerintah," kata Taufan di Jakarta, Senin (25/7/2016).
Pernyataan Taufan ini disampaikan terkait rencana Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti yang mengusulkan mereview ulang Peraturan Presiden (Perpres) No.51/2014 oleh tim independen yang didasarkan pada Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) dan dengan memperhatikan dinamika publik (sejalan dengan UU 32/2009 dan UU 26/2007 tentang Penataan Ruang).
Mantan Ketua Litbang Pusat Bantuan Hukum Indonesia (PBHI), D Taufan mengatakan, melakukan eksekutif review Perpres No.51/2014 boleh saja dilakukan sepanjang eksekutif review tersebut, juga memenuhi payung hukum UU No.26/2007 Pasal 20 ayat 4 yang menyebutkan Perpres bisa dilakukan eksekutif review,hanya sekali dalam lima tahun.
“Kalau Kementrian Kelautan berniat melakukan eksekutif review Perpres 51/2014 harus punya alasan yang jelas dan tidak bertentangan dengan UU dan bukan karena tekanan publik semata. Hal ini dilakukan agar ada kepastian hukum dan asas keadilan bagi pelaku usaha,”ujarnya di Jakarta, kemarin.
Perpres No.51/2014 yang disebut ini merupakan peraturan presiden yang mengatur rencana tata ruang kawasan perkotaan Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan (Sarbagita).
Salah satu poin terpenting dari aturan tersebut adalah mengubah peruntukkan perairan Teluk Benoa dari kawasan konservasi perairan menjadi zona budi daya yang dapat direklamasi maksimal seluas 700 Hektare.
Oleh karena itu, Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) harus bekerja sesuai konstitusi dan dan bukan karena desakan konstituen,apalagi tekanan kelompok.
Pasalnya, sikap pernyataan Menteri KKP, disinyalir D Taufan, adalah sikap respon menteri terhadap upaya menanggapi tekanan dari pihak tertentu.
Hal ini penting dipertimbangkan untuk memberikan kepastian hukum bagi siapapun investor yang sudah mengajukan proses izin usaha.
Taufan meyakini, pernyataan Menteri KKP Susi Pudjiastuti tidak memiliki efek yang dapat secara serta-merta merubah peraturan, karena langkah tersebut dinilai tidak tepat.
”Apa yang disampaikan menteri untuk melakukan eksekutif review Perpres No.51/2014 kurang tepat karena justru bertentangan dengan pasal dalam UU yang disebut tersebut,” ungkapnya.
Dia menuturkan, sebaiknya masyarakat Bali yang tidak menyetujui Perpres No.51/2014 bisa meniru cara warga Jakarta dalam menolak reklamasi Teluk Jakarta dengan melakukan gugatan hukum di pengadilan negeri dan akhirnya dimenangkan warga Jakarta.
Sebaliknya, warga Bali juga bisa melakukan hal yang sama dengan mengajukan judicial review di Mahkamah Agung.
“Cara-cara seperti ini lebih berkelas dan elegan, karena ruang untuk review masih terbuka sepanjang dilakukan melalui proses hukum,” katanya.
Sebelumnya, Menteri KKP dalam pernyataan resminya mengemukakan, lantaran pendapat publik yang belum menyatu soal pengembangan Teluk Benoa, pihaknya memberikan tiga usulan.
Pertama, Perpres 51/2014 segera dilakukan review ulang oleh tim independen yang didasarkan pada Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) dan dengan memperhatikan dinamika publik (sejalan dengan UU 32/2009 dan UU 26/2007 tentang Penataan Ruang).
Kedua, selama masa review, maka seluruh upaya pengembangan Teluk Benoa ditangguhkan sampai menunggu hasil review ditetapkan.
Ketiga, selama masa review, dilakukan komunikasi intensif dengan berbagai pihak terkait. Dan Ketiga, selama masa review, dilakukan komunikasi intensif dengan berbagai pihak terkait.