TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - PT Pertamina (Persero), melalui anak usahanya PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) memiliki keahlian dalam menggenjot panas bumi menjadi sumber energi ramah lingkungan.
Berly Martawardaya, pengamat ekonomi energi dari Universitas Indonesia, mengatakan hingga saat ini, Pertamina yang paling konsisten membangun pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) di Tanah Air sehingga wajar menjadi pionir dalam bisnis energi terbarukan tersebut.
Sepanjang tahun ini, PGE mengalokasikan dana 644 juta dolar AS untuk kegiatan operasional dan pengembangan bisnis berupa pembangunan sejumlah PLTP.
Sebanyak 565 juta dolar AS untuk pengembangan bisnis dan sisanya non-business development. Anggaran tersebut merupan bagian dari skema pembiayaan multiyears untuk seluruh proyek PGE dari 2014 hingga 2019 senilai total 2,5 miliar dolar AS.
Sepanjang semester I 2016, PGE memproduksi listrik sebesar 1.465 GWh, yang berasal dari PLTP Kamojang, Lahendong dan Ulubelu.
Produksi terbesar berasal dari Kamojang sebesar 861 GWh. Selain itu, dari PLTP Ulubelu diproduksi 411 GWh dan Lahedong 193 GWh.
Produksi listrik yang dihasilkan PGE hingga akhir 2016 diproyeksi mencapai 3.084 Giga Watt Hour (GWh), naik dibandingkan realisasi tahun lalu 3.056 GWh. Peningkatan produksi berasal dari pengoperasian tiga PLTP baru sepanjang semester II 2016.
“Karena itu, kalau ada keinginan Kementerian BUMN agar PLN menjadi pemegang saham PGE, saya kira Pertamina harus tetap menjadi pemegang saham mayoritas karena PGE adalah anak usaha Pertamina sehingga jalur koordinasinya jelas dan PGE bisa menjadi BUMN utama pengelola panas bumi,” ujar Berly.
Kementerian BUMN masih melakukan kajian masuknya penyertaan modal PLN ke PGE dengan menunjuk PT Danareksa sebagai konsultan.
Kementerian BUMN sebelumnya menegaskan PGE akan tetap di bawah Pertamina meskipun 50 persen sahamnya diakuisisi PLN. Percepatan pengembangan panas bumi menjadi salah satu alasan dari rencana masuknya PLN ke PGE.
Ibrahim Hasyim, pengamat energi yang juga Ketua Alumni Akademi Migas, menilai sudah seharusnya porsi saham Pertamina lebih besar karena kemampuan aset di panas bumi sudah sangat besar.
“Rasio kemampuan aset dapat menjadi salah satu pertimbangan dalam menentukan besarnya saham itu,” katanya.
Menurut Ibrahim, Pertamina sudah cukup lama menangani panas bumi, yang sesuai dengan visinya jadi perusahaan energi. “Kalau PLN masuk ke dunia panas bumi, dengan alam pikirnya supaya ada kontinuitas kehandalan pasokan bahan baku pembangkit, yang sebenarnya ada diluar tugas pokoknya,” ungkap dia.
Masuknya PLN ke PGE, menurut Ibrahim, dapat dimengerti karena sebagai negara yang mempunyai kandungan panas bumi cukup tinggi, sampai saat ini belum berkembang pesat. Hal ini disebabkan ada yang belum pas antara produsen dengan pemakai, terutama soal ketersediaan dan harga.
“Karena itu dibuatnya satu badan usaha khusus panas bumi diharapkan akan lebih fokus pada pembangunan sumber energi panas bumi dan pemakaiannya menjadi meningkat,” jelas Ibrahim.
Tafif Azimudin, Sekretaris Perusahaan PGE, menjelaskan PGE akan sangat sulit melakukan aksi-aksi korporasi jika PLN masuk dan menguasai 50 persen saham PGE. Mekanisme RUPS saat ini sangat mudah, jika disetujui Pertamina proses akan jalan.
“Lha, nanti diperlukan persetujuan baik dari Pertamina dan PLN untuk menjalankan mekanisme tersebut. Hampir pasti gerak PGE juga tidak dapat fleksibel lagi dan progresivitas hampir pasti akan menurun,” katanya.
Menurut Tafif, keberhasilan PGE saat ini dalam melalui risiko upstream tidak lepas dari keberadaan Upstream Technology Center (UTC) yang ada di Pertamina hulu karena ada second opinion dan challenge session di setiap tahapan eksplorasi dan pengembangan.
Dengan demikian, langkah-langkah dan tahapan pengeboran eksplorasi dan pengembangan yang memerlukan biaya dan risiko besar sangat terawasi dan terkontrol oleh Pertamina yang mempunyai basic keilmuan yang sama.
“Saya tidak yakin nanti bila PLN masuk PGE mekanisme yang baik ini dapat terus berjalan mengingat split kepemilikan juga akan mempengaruhi aksi korporasi, baik di Pertamina maupun di PLN,” ujarnya.