TRIBUNNEWS.COM, MALANG — Rencana Perum Bulog mengimpor 260.000 ton gula mentah (raw sugar) untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga mulai September ini ditentang Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia.
Impor itu dinilai akan mematikan petani tebu dalam negeri.
"Kami menolak apa pun bentuk impor gula karena saat ini petani tebu di Indonesia sedang panen. Untuk apa Perum Bulog impor gula 260.000 ton? Jika tujuannya untuk konsumen, pemerintah harus adil. Kelangsungan usaha petani juga harus dijaga," ujar Ketua Dewan Pembina APTRI Arum Sabil, Selasa (6/9/2016).
Menurut Arum, rencana impor gula mentah tidak beralasan karena kebutuhan rumah tangga di Tanah Air telah mencukupi.
Saat ini luas area tanam tebu di Indonesia mencapai 475.000 hektar dengan produksi 2,5 juta ton gula per tahun.
Kebutuhan gula 4,8-5 juta ton per tahun. Separuh di antaranya merupakan kebutuhan rumah tangga, sedangkan lainnya untuk industri makanan dan minuman.
"Dengan angka hitungan kebutuhan gula per kapita mencapai 19 kilogram kali jumlah penduduk Indonesia 255 juta jiwa, maka kebutuhan gula rumah tangga hanya 2,5 juta. Ini sebenarnya tercukupi oleh produksi dalam negeri," katanya.
Untuk industri makanan dan minuman, menurut Arum, ada kebijakan pemerintah mengenai pengolahan gula rafinasi oleh 11 pabrik gula dengan kapasitas terpasang 5 juta ton.
Mengacu pada tahun 2015, ada impor 3,5 juta ton gula rafinasi.
Sebanyak 2,5 juta ton di antaranya masuk ke pabrik dan digunakan untuk mencukupi kebutuhan industri makanan dan minuman.
Di sisi lain, kegiatan impor gula tidak beralasan karena saat ini konsumen rumah tangga bisa mendapatkan gula dengan harga wajar.
Bahkan, ada kecenderungan harga gula terus turun di bawah Rp 11.000 per kilogram.
Selisihnya kecil sekali dengan biaya produksi yang harus ditanggung petani.
"Biaya produksi saat ini ada yang di atas Rp 10.000 per kilogram. Selisihnya tidak banyak," katanya.
Faktor hujan
Saat ini, berdasarkan catatan APTRI, ada 1,3 juta petani tebu di Indonesia. Kondisi mereka kurang menguntungkan akibat frekuensi hujan tinggi. Kualitas tebu berkurang sehingga kandungan gula di dalamnya pun rendah.
Rendemen gula sulit mencapai 7 persen. Di sisi lain, biaya produksi tinggi.
Pengaruh cuaca dirasakan oleh para petani tebu di Kabupaten Malang.
Sudarsono, petani tebu di Desa Tambakrejo, Kecamatan Sumbermanjing Wetan, mengatakan, curah hujan yang tinggi tahun ini berpengaruh terhadap rendemen.
Meski begitu, pihaknya berharap rendemen tebu yang ada di pegunungan wilayah selatan Malang bisa lebih bagus dibandingkan dengan daerah lain yang posisinya lebih rendah.
"Saya belum tahu berapa rendemen tebu di sini. Namun, dari dua lahan milik saya yang lokasinya berbeda, biasanya rendemennya juga berbeda. Tahun lalu ada yang mencapai 10-11 persen.
Untuk tahun ini saya belum tahu," ujar Sudarsono yang memiliki lahan tebu seluas 10 hektar.