TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Hari ini Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (BKF Kemenkeu) Suahasil Nazara mengungkapkan pemerintah berencana mengutip Pajak Pertambahan Nilai (PPN) rokok.
Besarannya PPN rokok tersebut yaitu, 10 persen pada saat produk tersebut keluar dari pabrik, plus 10 persen lagi saat pedagang besar menjual rokok ke pengecer atau masyarakat.
Dalam keterangannya, Suahasil menjelaskan bahwa skema ini diambil pemerintah agar Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dapat meningkatkan basis data perpajakan melalui Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) perusahaan-perusahaan pendukung industri rokok.
Suahasil menjelaskan bahwa sistem tersebut sudah dikomunikasikan ke industri tembakau. Industri, lanjut Suahasil, siap tapi butuh waktu dari sisi rantai produksinya agar semuanya taat pajak.
Terkait kebijakan ini, industri telah menyuarakan penolakan terhadap kebijakan ini. Kebijakan tersebut dinilai sebagai inkonsistensi pemerintah dalam menerapkan kebijakan yang sudah diterapkan dan disepakati sebelumnya.
Salah satunya dari Forum Masyarakat Industri Rokok Seluruh Indonesia (Formasi).
Suhardjo Sekretaris Jenderal Formasi mengatakan, sejatinya pengenaan PPN 10 persen itu baru akan diterapkan pada 2018 mendatang.
Pasalnya tahun ini PPN rokok sudah dinaikkan dari sebelumnya 8,4 persen di 2015 menjadi 8,7 persen di Januari 2016.
Dan pada 2017 nanti PPN rokok dijadwalkan naik menjadi 8,9 persen. Dan di tahun selanjutnya baru naik menjadi 9,1 persen.
Menurutnya kebijakan yang dituangkan dalam bentuk Peraturan Menteri Keuangan tersebut diambil setelah adanya kesepakatan dengan pelaku industri rokok.
Namun kini Kementerian keuangan ingin mempercepat jadwal kenaikan tersebut menjadi langsung 10 persen.
“Dengan BKF (Badan Kebijakan Fiskal) yang membidangi pajak disebutkan bahwa tahun depan ini sebetulnya di angka 8,9 persen. Jadi tahapan yang hasil pembicaraan dengan asosiasi itu dilanggar sendiri oleh pemerintah,” katanya, Senin (27/9/2016).
Ia menilai percepatan kenaikan PPN ini dikarenakan pemerintah panik target pemasukan pajak sulit tercapai yang berpotensi terjadinya shortfall yang besar. “Efeknya merugikan pelaku industri,” katanya.
Untuk itu ia meminta pemerintah tetap konsisten dengan kesepakatan yang telah dibuat sebelumnya. “Kesepakatan itu ada kronologi dan history-nya. Jadi sebaiknya sesuai jadwal saja, jangan mengingkari,” ujarnya.
Selain itu, jika dipercepat, pelaku industri rokok juga belum siap. Terutama yang paling terkena adalah para distributor rokok.
“Dengan pengenaan 10 persen ini akan merepotkan dari sisi distribusinya. Situasi ini yang harus diperhatikan oleh pemerintah,” ujarnya.
Apalagi, selain kenaikan PPN, di saat yang sama Kementerian Keuangan melalui Direktorat Bea dan Cukai juga berencana untuk menaikkan tarif cukai rokok. Sehingga ia khawatir kenaikan PPN akan mengganggu penerimaan cukai.
“Ego sektoral masih terasa. Yang satu pimpinan ingin punya prestasi, begitu juga pimpinan lainnya. Jadi masing-masing direktorat ingin menonjol, itu-kan konyol namanya,” keluh Suhardjo.
Senada juga disampaikan oleh Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) Muhaimin Moefti yang menyatakan keberatan rencana perubahan tarif PPN dari single stage tax (final) saat sekarang ke multi stage tax (umum).
Pertama, perubahan ini membuat efisiensi proses penjualan menjadi menurun. “Kalau kita menggunakan sistem umum itu berarti setiap kali ada transaksi termasuk transaksi salesman kita jual ke retailer atau pengecer, dia harus membuat faktur pajak. Itu ribet sekali,” katanya.
Kedua, ada kekhawatiran para agen karena proses yang berbelit. “Sebelumnya, dia jual saja, satu atau dua slop. Tapi nanti dia juga harus mengeluarkan faktur pajak. ribetkan dia. Dikhawatirkan para agen berpikir untuk tidak menjual rokok karena berbelit,” ujarnya.
Ketiga, perubahan sistem akan memakan waktu yang cukup lama. Pasalnya, saat ini perusahaan dengan sistem pembayaran PPN yang sudah berjalan harus merubah kembali.
“Ini memakan waktu karena tidak gampang begitu saja. Membangun sistem, training kepada usernya dan sosialisai. memakan waktu tidak bisa setahun mungkin sampai dua tahun," paparnya.
Keempat, pemberlakuan sistem multi stage akan melibatkan miliaran faktur pajak. “Rantai penjualan dari pabrik ke distributor, lanjut salesman jumlah yang banyak begitu juga jumlah toko.
Katakanlah penjualnya 1000, kalau jualan outlet 1 juta seluruh Indonesia berarti untuk menyelesaikan kunjungan 1.000 kali 1 juta jadi 1 miliar. Berarti 1 miliar faktur pajak,” jelasnya.
Lantaran itu, Moefti berharap pemerintah tetap menerapkan sistem single stage. Rencananya, dalam kurun waktu dekat pelaku industri akan kembali melakukan pertemuan dengan pihak pemerintah.