Namun, di sisi lain, inisiatif ini mengundang kemarahan sejumlah aktivis dan sejumlah bagian dari masyarakat pada beberapa pekan belakangan.
Sebab, para taipan kaya dengan mudahnya mendeklarasikan hartanya tanpa mereka harus menyebutkan dari mana asal harta mereka.
Misalnya saja, Tommy Soeharto, pengusaha kaya dana nak bungsu mantan presiden RI ke-2 Soeharto. Atau James Riady, bos Lippo Group, merupakan daftar orang kaya yang ikut program tax amnesty ini.
Pemerintah juga terus mendorong partisipasi dari pada pimpinan bisnis untuk menggulirkan gairah para pengusaha mengikuti program ini setelah awal yang lambat.
Para orang kaya ini, bahkan mendapat publikasi saat mendeklarasikan hartanya di kantor pajak setempat.
"Perlakuan istimewa ini seolah-olah menampilkan para orang kaya yang selama ini menyembunyikan hartanya atau tidak menyebutkan dari mana hartanya berasal ini sebagai pahlawan," tukas Firdaus Ilyas, aktivis LSM Indonesia Corruption Watch (ICW).
"Imej yang dibangun seolah-oleh mereka mengikuti programm tax amnesty untuk membangun negerinya," lanjut dia kepada AFP.
"Tapi kita semua tahu, mereka mengikuti tax amnesty sebab mereka tidak membayar pajak."
Tentu saja, kemudahan bagi para penghindar pajak ini menimbulkan kekecewaan mendalam bagi warga dengan pendapatan pas-pasan yang taat membayar pajak.
Sementara para orang kaya bisa membayar pajak di bawah rerata normal.
Untuk pajak individu, seharusnya berkisar antara lima persen hingga 30 persen berdasarkan pendapatannya.
Sedangkan pajak korporasi sekitar 25 persen. tetapi di tahap pertama tax amnesty, mereka hanya perlu membayar tarif tebusan dua persen untuk deklarasi harta dan empat persen untuk repatriasi.
"Program tax amnesty hanya baik untuk orang kaya," kata Johni Yusuf, pebisnis di usia 30-an yang menjalankan usaha kelontong di Jakarta. "Itu tidak adil karena saya selalu taat membayar pajak."
Para aktivis bahkan menentang pelaksanaan tax amnesty melalui jalur pengadilan, yakni melalui Mahkamah Konstitusi.