TRIBUNNEWS.COM,JAKARTA -- Polemik terus bergulir terkait Rencana pemerintah melakukan revisi Peraturan Pemerintah (PP) No. 52 dan 53 Tahun 2000. Berbagai argumen beredar yang semuanya memiliki dasar pertimbangan tersendiri.
Pengamat Ekonomi Faisal Basri berpendapat, sebaiknya pemerintah terlebih dahulu mengubah Undang-undang No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi sebagai payung hukum dari kedua PP tersebut.
“Kalau Undang-undang sendiri masih banyak yang harus diperbaiki kenapa ga UU-nya dulu yang diubah,” kata Faisal di Jakarta, Selasa (29/11).
Menurutnya, apapun alasan dan tujuannya, revisi ini harus memberikan dampak yang baik kepada masyarakat. “Apapun yang dituju oleh revisi ini, faktanya indeks ICT kita masih rendah, ada di peringkat 115,” kata Faisal.
Dia juga berharap negara jangan tunduk pada kekuatan korporasi dunia dan tidak boleh didikte yang dapat menguntungkan korporasi bukan masyarakat. Di industri ini kecenderungannya dikatakan Faisal, kalau bisa free rider kenapa tidak.
Di tempat terpisah, eks anggota komite Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) Riant Nugroho mengatakan, jika Menteri Komunikasi dan Informatika tetap ngotot mengesahkan kedua revisi PP tersebut, maka dia menganggap sebagai bentuk kejahatan terhadap publik.
“Jika dipaksan itu namanya bentuk kejahatan publik. Pemerintah tak menghormati hak-hak publik hanya karena ingin melakukan efisiensi. Efisiensi kan menurut pemerintah. Tapi masing-masing ada implikasinya," kata Riant ketika dihubungi.
Menurutnya, pemerintah jangan melakukan pendekatan kekuasaan dalam melakukan uji publik kedua RPP tersebut. Apalagi pada awalnya penyusunan revisi terhadap kedua PP itu tidak melibatkan masukan dari masyarakat. Sehingga, dia mengusulkan sebaiknya pemerintah membatalkan revisi kedua PP tersebut.
“Jadi harunya diberhentikan dan dibahas ulang biar baik. Undang-undangnya pun harus direvisi karena sudah kadaluarsa," pungkas Riant.
Dia juga berharap agar Menkominfo Rudiantara bersikap netral dalam menyingkapi polemik berbagai jaringan yang kini sedang mengemuka. “Beliau harus berdiri netral diantara semua pihak," pungkasnya.
Sementara, Staf Ahli Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenkopolhukam) Desk Ketahanan dan Keamanan Cyber Nasional, Prakoso meminta agar pemerintah menunda pengesahan RPP 52 dan 53 Tahun 2000. Alasannya, pengelolaan frekuensi sebagai sumber daya terbatas dan harus dikuasai oleh pemerintah, bukan dibagi-bagi kepada pihak swasta.
Prakoso menilai, revisi terhadap kedua RPP itu dinilainya tidak sejalan dengan Undang-undang Telekomunikasi. Seharusnya pemerintah, kata dia, melakukan revisi terhadap UU terlebih dahulu sebelum melakukan revisi terhadap kedua keturunannya.
“UU Telekomunikasi itu sudah harus direvisi. Karena isinya sudah tidak sejalan dengan perkembangan teknologi. Itu lebih baik ketimbang memperbaiki PP. Jangan muncul kesan ada pemaksaan,” sambung Prakoso.
Jika pemerinta tetap ngotot mengesahkan kedua RPP tersebut, Prakoso khawatir hal itu justru akan memunculkan konflik. Hal itu, sambung dia, akan berujung pada gugatan hukum dimana pihak yang tak puas akan menggugat kedua RPP tersebut.
Gugatan itu akan muncul dari pihak operator selular yang tidak puas dengan kebijakan pemerintah terkait kewajiban sharing frekuensi dan infrastruktur. Sebab, jaringan yang telah dibangun BUMN Telekomunikasi kelak bisa ditumpangi operator-operator asing tanpa kepastian jaminan pengembalian investasinya.