News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Ikuti Gaya Hidup Boleh, Tetap Fokus Berinvestasi Itu Harus

Editor: Choirul Arifin
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

PROGRAM SEJUTA RUMAH - Gelaran Pameran Program Sejuta Rumah Garapan PT. Borneo Delapan Enam di Atrium e-Walk Balikpapan Superblock (BSB), Kota Balikpapan, Jumat (8/4/2016).

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- Muda foya-foya. Begitu bunyi sebuah pameo. Tapi, itu tidak berlaku buat Cornelius Bintang.

Pria 22 tahun yang baru sembilan bulan bekerja ini sudah menyisihkan sebagian penghasilannya untuk ditabung sebagai uang muka kredit pemilikan rumah (KPR) dan biaya pernikahan.

Enggak tanggung-tanggung, penghasilan yang Bintang sisihkan untuk disimpan di bank mencapai 60% dari gaji bulanannya sebagai editorial videographer di sebuah majalah di Jakarta.

Dia lebih memilih menabung untuk DP rumah ketimbang mobil lantaran tempat tinggal jadi salah satu modal penting dalam hidup berkeluarga. “Bisa juga sebagai daya jual laki-laki buat menikah,” katanya yang memasang target menikah di usia 27 tahun.

Meski begitu, Bintang masih bisa memenuhi gaya hidupnya, lo. Termasuk, untuk berlibur dan menonton konser di luar negeri. Dia punya dua rekening. Begitu gaji turun, ia langsung membaginya.

“Satu rekening untuk cash flow, satu rekening untuk tabungan. Untuk rekening tabungan, saya meninggalkan kartu ATM di rumah dan tidak memiliki mobile atau internet banking untuk menghindari pengeluaran yang tidak seharusnya,” ungkapnya.

Begitu juga dengan Ayu Siti Aisyah. Perempuan 23 tahun yang belum genap bekerja setahun ini juga sudah menabung untuk membeli tanah. Maklum, ia lebih senang membangun rumah berdesain sendiri dibanding membeli rumah jadi.

Ayu menyisihkan 30% penghasilannya sebagai karyawan sekaligus guru privat bahasa Inggris dan penerjemah untuk ditabung.

“Saya pilih beli rumah. Harga mobil memang lebih murah dan penting untuk mobilitas, tapi tempat tinggal lebih penting,” ujarnya.

Untuk urusan keuangan Ayu memang sangat disiplin. Setiap akhir bulan, ia selalu menulis daftar kebutuhan untuk bulan berikutnya beserta nominal atau bujet yang harus dikeluarkan.

“Sebanyak 30% untuk tabungan rumah, 10% tabungan untuk melanjutkan studi, 40% untuk kebutuhan dan hiburan, sisanya yang 20% saya simpan jika sewaktu-waktu dibutuhkan mendadak,” beber Ayu.

Maksimal 10 persen

Tapi, tak banyak anak muda yang sudah bekerja yang bisa menabung untuk membeli rumah seperti Bintang dan Ayu, sekalipun gajinya gede.

Mereka lebih mementingkan kebutuhan untuk gaya hidup yang menguras habis penghasilan, bahkan sampai terjerat utang.

Padahal, berangkat dari temuan Rumah123.com dan Karir.com, pengelolaan keuangan sudah semestinya jadi prioritas dan perhatian serius kaum muda yang telah bekerja.

Sebab, hasil riset mereka yang dirilis Rabu (14/12) pekan lalu menunjukkan, hanya 17% kaum milenial alias yang lahir antara 1981 sampai 1994 yang bisa membeli rumah dengan mencicil.

Itu pun harganya di bawah Rp 300 juta per unit.

Kok? Pendapatan rata-rata generasi milenial di Indonesia saat ini adalah Rp 6,07 juta per bulan.

Sedang untuk bisa mencicil rumah berlokasi di Jakarta dan daerah-daerah yang menempel persis sama Ibukota RI dengan harga termurah Rp 300 juta, butuh penghasilan minimal Rp 7,5 juta per bulan.

Nah, sekarang cuma ada 17% kaum milenial yang bergaji di atas Rp 7,5 juta per bulan.

Cuma celakanya, Rumah123.com dan Karir.com meramalkan, lima tahun ke depan atau pada 2021 mendatang, semua generasi milenial yang bekerja dan bermukim di Jakarta terancam tidak bisa membeli rumah.

Termasuk yang berpenghasilan Rp 7,5 juta ke atas.

Ramalan itu bertolak dari kenaikan gaji yang rata-rata hanya 10% per tahun dan harga rumah yang mencapai 20%.

Dengan lonjakan 20% setahun, harga rumah di Jakarta dan sekitarnya yang saat ini Rp 300 juta per unit akan melompat jadi Rp 750 juta di 2021 mendatang.

Sementara kisaran penghasilan generasi milenial pada lima tahun mendatang hanya Rp 12 juta per bulan, dengan kenaikan gaji sebesar 10% setahun.

Dengan penghasilan segitu, mereka tidak lagi mampu mencicil rumah.

Harga rumah yang mencapai Rp 750 juta, memaksa mereka membayar cicilan Rp 5,6 juta per bulan. Itu berarti, di atas batasan cicilan maksimal 30% dari penghasilan.

Menurut Tejasari, Perencana Keuangan Tatadana Consulting, jika sampai generasi milineal tidak bisa membeli rumah dengan cara mencicil dalam lima tahun sejak bekerja, itu sejatinya kembali ke masalah gaya hidup.

Sah-sah saja memenuhi hasrat kebutuhan lifestyle. Tapi, biaya untuk kebutuhan itu maksimal 20% dari gaji.

Risza Bambang, Perencana Keuangan OneShildt Financial Planning, lebih ekstrem lagi.

Dia mengatakan, untuk memenuhi kebutuhan gaya hidup, anggarannya tidak boleh melebihi angka minimal tabungan yakni sebesar 10% dari gaji.

Minimal 10 persen

Hanya, Tejasari menuturkan, untuk bisa mulai mencicil rumah dalam lima tahun ke depan, sebaiknya generasi milenial langsung berinvestasi ketimbang sekadar menabung di bank.

“Namun, menabung dulu saja minimal 10% dari penghasilan sudah bagus untuk melatih mereka,” tutur Tejasari.

Kalau memang mau langsung berinvestasi, Tejasari menyatakan, ada tiga pilihan instrumen: tabungan emas, reksadana, atawa produk asuransi berbalut investasi atau unitlink.

Tapi sebelumnya, menetapkan dulu tujuan investasi jangka pendek dan panjangnya. Tujuan investasi jangka panjang, misalnya, untuk dana pensiun.

Sedang tujuan investasi jangka pendek, selain untuk rumah, juga membeli mobil atau biaya menikah. Porsi investasi jangka pendek lebih besar dari investasi jangka panjang.

“Cuma sebaiknya, investasi jangka pendek untuk beli rumah. Kalau mobil, nilai asetnya akan turun, sementara rumah akan naik. Dan, kenaikan harga rumah susah dikejar jika ditunda-tunda belinya,” imbuh Tejasari.

Itu sebabnya, Tejasari berpesan, buat generasi milenial yang baru bekerja, ada baiknya sedari awal sudah membagi porsi penghasilannya dengan seimbang dan berinvestasi.

Menurut Risza, gaya hidup adalah pilihan. Dan, belum tentu semua gaya hidup negatif. Meski begitu, generasi milenial harus bisa menentukan gaya hidupnya sesuai kemampuan.

“Tapi, sekarang anak muda sudah feodal. Gengsi sudah nomor ke sekian. Mereka sudah bisa bereksplorasi sesuai kemampuan keuangan,” katanya.

Agar generasi milenial tetap bisa berinvestasi di samping memenuhi gaya hidupnya, pertama, mereka harus membuat perencanaan keuangan untuk lima tahun ke depan.

Caranya: penghasilan atau top line dibuat seideal mungkin. Lalu, pengeluaran atau bottom line dibikin sepelit mungkin. Jadi, selama lima tahun akan kelihatan selisihnya dan bisa lebih irit.

Kedua, sebagai anak muda, Anda harus kreatif mencari tambahan penghasilan dengan memanfaatkan teknologi. Ketiga, bekerja dengan baik. Dengan asumsi, jika semakin berprestasi, akan semakin berbanding lurus dengan karier dan pendapatan.

“Keempat, perlu diingat, bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian, yaitu dengan mengoptimalkan nilai uang,” ujar Risza.

Jadi, apakah Anda siap bersakit-sakit dahulu demi bisa bersenang-senang kemudian?

Reporter: Francisca Bertha Vistika

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini