TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - PT Jakarta International Container Terminal (JICT) merupakan aset bangsa yang sangat strategis.
Pelabuhan petikemas terbesar di Indonesia, merupakan pintu keluar masuk ekspor impor dan gerbang ekonomi nasional dan semestinya pelabuhan tersebut dikelola oleh Indonesia.
“Seharusnya aset negara ini dikelola mandiri, sebagai wujud kedaulatan ekonomi negara,” jelas Nova Sofyan Hakim, Ketua Serikat Pekerja JICT saat seminar “Penyelamatan Aset Nasional; Global Bond dan Perpanjangan Kontrak JICT Yang Berpotensi Merugikan Negara,” di Jakarta, Selasa (11/4/2017).
Jika dikelola sendiri, maka Negara melalui BUMN yang mengelola pelabuhan akan mendapatkan pemasukan yang sangat besar.
Baca: Serikat Pekerja Jakarta International Container Terminal Bantah Sabotase Perusahaan
Untuk itu, masuknya pihak asing dalam pengelolaan Pelabuhan Tanjung Priok melalui kerjasama antara JICT dengan Hutchinson yang kontraknya berakhir pada tahun 2019, tidak terlalu mendesak.
Namun ternyata kontrak tersebut diperpanjang hingga tahun 2039.
"Hanya berbekal izin prinsip Menteri BUMN yang notabene belum dipenuhi Pelindo II, tanpa izin konsesi otoritas pelabuhan dan Menteri Perhubungan, RJ Lino nekat memutuskan untuk menandatangani perpanjangan kontrak dengan Hutchinson," katanya.
Selain masalah perpanjangan kontrak dengan JICT, Pelindo II juga melakukan pinjaman ke luar negeri ( Global Bond) senilai 1,58 Miliar dollar AS atau setara Rp 21 triliun yang digunakan membiayai pembangunan Kali Baru (NPCT 1), Pelabuhan Sorong, Kijing, Tanjung Carat dan Car Terminal.
Baca: Pansus Pelindo II Diminta Libatkan Diri Usut Kasus PTI di JICT
PT Pelindo II harus membayar bunga global per tahun, sekitar Rp 1,2 Trilyun. Beban bunga yang sangat besar ini menjadi tanggungjawab Pelindo II.
"Celakanya, pembayaran hutang PT Pelindo II bukan dibayar dari proyek-proyek yang dibiayai oleh Global Bond, namun diambil dari anak-anak perusahaan Pelindo II, termasuk dari sewa pembayaran kontrak JICT dan terminal Koja," katanya.
Disebutkan saat pinjaman dilakukan proyek proyek tersebut masih dalam tahap studi kelayakan awal ( Pre-feasibility studi), sementara proyek Terminal Kalibaru pun belum sepenuhnya berjalan.
Tak heran jika Nova mengatakan penerbitan Global Bond tidak disertai dengan perencanaan yang matang.