Keterjangkauan Masyarakat
REI juga menyoroti harga cicilan rumah subsidi di sejumlah provinsi yang belum ideal, yakni di atas 40 persen dari penghasilan Upah Minimum Provinsi (UMP). Beberapa provinsi dimaksud antara lain NTT, NTB, Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah dan DI Yogyakarta.
Eman memberi contoh di NTT, besaran UMP masih Rp 1,5 juta per bulan, dengan harga rumah FLPP Rp 130 jutaan, terjadi gap kemampuan masyarakat untuk mencicil sekitar Rp 200 ribu-Rp 300 ribu karena cicilan rumah ditentukan adalah sepertiga dari penghasilan.
Masalah lagi, REI melihat sebagian besar yang menyerap subsidi FLPP adalah pekerja swasta yakni hampir 74 persen. Sementara PNS dan TNI/Polri masih kecil sekali. Padahal dari informasi yang diperoleh ada 150 ribu personil Polri dan 990 ribu PNS di seluruh Indonesia belum memiliki rumah. Menurut Eman, sebagian besar kelompok aparatur ini tidak lolos proses BI Checking karena memiliki berbagai kredit konsumtif.
REI akan mengirimkan surat ke Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) supaya BI Checking ini bisa diperlonggar supaya lebih banyak PNS yang bisa memiliki rumah.
“Karena begini, yang selama ini diperhitungkan bank hanya gaji pokok, padahal PNS biasa memiliki tunjangan lain tetapi tidak diperhitungkan. Mungkin itu bisa jadi pertimbangan,” kata dia.
Persoalan lain yang masih menjadi hambatan serius dalam program sejuta rumah adalah masalah perizinan. Meski PP No 64/2016 tentang Pembangunan Perumahan Masyarakat Berpenghasilan Rendah dan Surat Edaran Mendagri mengenai penyederhanaan perizinan rumah MBR sudah dikeluarkan, namun di daerah belum berjalan.
Sebagian besar bupati atau wali kota, ungkap Eman, belum merespon positif kebijakan tersebut. Ini sekaligus memperlihatkan kalau masalah perumahan belum menjadi persoalan strategis di daerah.
Sebagai garda terdepan dalam mendukung program sejuta rumah, REI pada tahun ini menargetkan pembangunan 210 ribu unit rumah subsidi di seluruh Indonesia.