TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Sebanyak 41 persen responden mengaku pernah dikecewakan oleh pelayanan transportasi online namun keberadaan mereka tidak bisa dielakkan, karena karut marutnya layanan transportasi yang ada saat ini.
Demikian hasil survei Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) yang diterima Tribunnews, Jumat (12/5/2017).
Ketua Harian YLKI Tulus Abadi menjelaskan, alasan responden memilih/menggunakan transportasi online adalah murah (84,1 persen), cepat (81, 9 persen), nyaman (78, 8 persen), dan terakhir alasan aman sebanyak 61, 4 persen dari 4.668 responden tersebut berusia produktif.
Menurutnya, secara dominan konsumen menjawab sangat baik (77,7 persen), kemudian cukup 21,8 persen, kurang baik 0,4 persen dan menjawab sangat buruk sebanyak 0,1 persen.
"Namun, di sisi lain, ketika ditanyakan apakah konsumen pernah dikecewakan oleh pelayanannya; sebanyak 41 persen responden mengaku pernah dikecewakan, dan sebaliknya 59 persen responden tidak pernah dikecewakan," kata Tulus.
Bentuk keluhan dan kekecewaan responden terhadap pelayanan transportasi online sangat beragam.
Tulus menjelaskan, terdapat 13 ragam keluhan yang dialami konsumen, yakni antara lain: pengemudi minta dibatalkan sebanyak 1.041 responden (22.3 persen), sulit mendapatkan pengemudi sebanyak 989 responden (21.19 persen), pengemudi membayalkan secara sepihak sebanyak 757 responden (16.22 responden), aplikasi map rusak/error sebanyak 612 responden (13.11 persen).
Selain itu, pengemudi tidak datang sebanyak 296 responden (6.34 persen), kondisi kendaraan kurang baik sebanyak 282 responden (6.04 persen), pengemudi ugal-ugalan sebanyak 221 responden (4.73 persen), kendaraan bau asap rokok sebanyak 215 responden (4.61 persen), dan pengemudi merokok saat mengemudi sebanyak 35 responden (0.75 persen). Hal ini menandakan tidak adanya standar pelayanan minimal yang diberikan oleh operator transportasi yang bersangkutan.
"Dampaknya potensi kerugian konsumen sangat besar," jelasnya.
Menurut Tulus, keberadaan transportasi online tidak bisa dielakkan, apalagi dilarang.
"Fenomena ini terjadi karena masih buruknya pelayanan angkutan umum di kota-kota besar Indonesia, termasuk Kota Jakarta," ujarnya.