TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tak ada tempat aman di Jakarta meski di dalam rumah. Banyak orang tewas atau terluka karena sering terjadi kebakaran besar di tengah malam atau diserang oleh para perampok yang makin merajalela.
Inilah mengapa penderita gangguan jiwa di Jakarta meningkat pesat.
Menurut statistic Dinas Kebakaran dan Penanggulangan Bencana Provinsi DKI Jakarta, tahun lalu terjadi 1.139 kasus kebakaran.
Penyebab utamanya adalah korsleting listrik. Korban tewas 20 0rang, 3.618 keluarga (11.719 orang) menjadi korban, harta benda yang hangus bernilai Rp 212 milyar, dan ratusan rumah hangus terbakar.
Maka tak mengherankan bila jumlah penderita gangguan jiwa yang berkeliaran di jalan terus bertambah.
Tahun lalu Dinas Sosial Pemda DKI menjaring 2.283 penderita sakit jiwa di jalanan, meningkat 668 orang dari tahun sebelumnya.
Angka ini ibarat puncak gunung es.
Jumlah penderita gangguan Jiwa di Jakarta sesungguhnya jauh lebih tinggi karena sebagian besar dirawat oleh keluarga dan tak tercatat di Dinas Sosial.
Merahasiakan anggota keluarga yang sakit jiwa sering terjadi untuk menjaga kehormatan keluarga.
Penelitian terbaru oleh Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (UI) menunjukkan, persentase penderita stress di Jakarta juga sangat tinggi.
Sekitar 49 persen wanita, dan 39 pria di Jakarta menderita stress.
Hal ini tentu saja membuktikan bahwa Jakarta sesungguhnya bukan tempat layak untuk ditinggali. Apalagi kota ini juga sedang menghadapi masalah serius yang terus menggunung.
Sekarang saja Jakarta sudah dikeluhkan habis-habisan oleh warganya karena sangat miskin fasilitas umum (Fasum) dan fasilitas sosial (Fasos).
Kemiskinan ini membuat ketegangan sosial sulit diredakan karena kelangkaan ruang yang sehat untuk bersoalisasi, sport, belajar, berkesenian dan berbagai aktivitas kreatif lainnya.
Akibatnya banyak ketegangan berubah menjadi kekerasan, baik yang bersifat pribadi maupun massal.