"Seperti kami sampaikan tadi, kalau tanggal 8 Februari akan dieksekusi, kami akan kerahkan seluruh karyawan PTPN V untuk hadang. Kami punya semboyan, satu tergores semua terluka. Kami akan tetap pertahankan agar eksekusi lahan tidak terjadi. Kami siap turunkan 12.000 karyawan PTPN," kata Asman Sinaga.
Sadino menjelaskan, pangkal tumpang tindih yang berujung sengketa tersebut adalah di dalam kebun tersebut ada izin Hutan Tanaman Industri (HTI) yang diberikan kepada sebuah perusahaan swasta.
Dia menyebutkan, sebelum tahun 2004, yakni tahun 1995 sudah ada nini mamak sebagai pemangku adat dan sudah menyerahkan lahan kepada PTPN V dalam rangka bapak angkat.
"Sekitar 28000 ha lahan yang digugat Yayasan Riau Madani, di dalamnya ada ratusan bagian lahan yang sudah berstatus SHM. Lahan 2800 ha ini sebenarnya berlokasi di Kabupaten Rokan Hulu, bukan di Kabupaten Kampar. Jadi eksekusi ini menjadi tidak sah. Meski putusan ini sudah in cracht, tetap tidak bisa dieksekusi," tegasnya.
Dia menambahkan, lahan yang dieksekusi ini juga merupakan aset BUMN yang tidak bisa begitu saja dieksekusi. "Putusan pengadilan ini dengan sendirinya tidak bisa dieksekusi sejak putusan ini terbit tahun 2015, kecuali ada pihak yang mendorong dan memodali," kata dia.
"Karena itu, kami meminta kepada pengadilan agar ini tidak dieksekusi demi menghindari kerugian yang lebih besar.
Yang bisa dilakukan oleh Menteri Kehutanan saat ini adalah merevisi status HTI yang saat ini dimiliki oleh perusahaan swasta di atas lahan tersebut," tandas Sadino.
Salah seorang perwakilan dari Pemkab Rokan Hulu menyatakan, putusan PN Bangkinang ini salah alamat karena wilayah yang akan dieksekusi adalah di wilayah Rokan Hulu. Lahan di Desa Sungai Agung yang akan dieksekusi tidak berada di wilayah Kabupaten Kampar tapi di Kabupaten Rokan Hulu.
"Kita melihat ini lahan secara administratif berada di wilayah Desa Kabun. Sertifikat warga dan kegiatan administratif selama ini, dan juga proses pemilihan kepala daerah berada di wilayah Rokan Hulu," imbuhnya.
Mohamad Aidi, anggota DPRD Rokan Hulu, menambahkan, di tahun 1999, sebelum periode pemekaran, lahan yang disengketakan berada di Kabupaten Kampar.
"Saat perjanjian pengelolaan kebun antara PTPN V dengan warga Desa Kabun, masih berstatus wilayah administratif Kampar, dan itu diketahui oleh Pemerintah Kabupaten Kampar. Tapi saat dilakukan pemekaran, pembentukan kabupaten Rokan Hulu, wilayah desa Kabun masuk dalam Kabupaten Rokan Hulu. Karena itu wajar jika warga Desa Kabun memilih bertahan dengan lahan yang ada sekarang," ungkapnya.