TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Karyawan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) V yang tergabung dalam serikat pekerja dan warga pemilik lahan di Kecamatan Tapung, Kabupaten Kampar, Riau, meminta Pengadilan Negeri Bangkinang, menunda eksekusi atas lahan seluas 2.823,52 ha yang saat ini masih menjadi sengketa.
Mereka menilai, eksekusi lahan tersebut meski sudah mendapat putusan final, tidak dapat dieksekusi karena banyak keganjilan dan dalam bunyi putusan hakim.
Asman Sinaga, Ketua Serikat Pekerja Perkebunan PTPN V mengatakan, di atas lahan yang akan dieksekusi ada 400-an jiwa yang selama ini bekerja sebagai karyawan perkebunan kelapa sawit PTPN V.
Lahan kebun sawit Sei Batu Langkah (SBL) di Desa Sei Aguh, Kecamatan Tapung, selama ini merupakan lahan yang dikerjasamakan warga dengan PTPN V dan ditanami dengan sawit demi meningkatkan kesejahteraan ekonomi warga dengan pola kemitraan.
Lahan yang dibangun itu diakui sebagai milik masyarakat Desa Kabun dan mendapatkan rekomendasi dari pemerintah daerah, dengan izin usaha perkebunan yang sudah terbit.
"Tapi selama mereka bekerja dirong-rong oleh pihak luar. Teror sampai ke anak-anak kami. Kami sudah lapor ke aparat tapi tak pernah mendapatkan perlindungan hukum yang memadai," ungkap kata Asman di Jakarta, Selasa (6/2/2018).
Dia menyebutkan, sejak ada gugatan Yayasan Riau Madani yang berujung ke pengadilan, selalu ada pihak luar yang masuk ke lahan warga. "Mereka dari luar menyerang, masuk ke lahan kami, anak-anak kami dipilukuli, lahan dijarah. Saya yakin ini alat untuk membuat kami agar tidak betah bekerja di sana," ungkapnya.
Baca: Jokowi Ancam Copot Jabatan Pangdam dan Kapolda Jika Terjadi Kebakaran Hutan di Wilayahnya
Dr Sadino, konsultan dan penasehat hukum PTPN V mengatakan, sudah sepekan terakhir karyawan melakukan upaya penjagaan agar eksekusi ini tidak terjadi, karena alat-alat berat sudah berada di lokasi.
"Kami mendengar alat berat ini sudah dipindahkan. Yang kami heran, bagainana bisa LSM (Yayasan Riau Madani) ini bisa mendatangkan alat berat ke lokasi, Bahkan pernah melakukan survei dengan menggunakan drone. Dulu tidak ada larangan masyarakat mengelola lahan, dan sekarang sudah jadi kebun sawit produktif, kok mau dihancurkan," ungkapnya.
Menurutnya, PTPN V berpotensi rugi hingga Rp 170 miliar jika lahan sengketa tersbut jadi dieksekusi karena mrupakan area perkebunan sawit inti.
Baca: Airlangga: Golkar Siap Terima Fahri Hamzah, Syaratnya Harus Dukung Jokowi
Pengadilan Negeri Bangkinang dalam suratnya Nomor W4.U7/277/HK.02/I/2018 tanggal 26 Januari 2018 tentang Sengketa Lahan Aantara PTPN V (Persero) dengan Yayasan Riau Madani, memerintahkan agar dilakukan eksekusi lahan seluas 2.823,52 ha yang saat ini merupakan kebun sawit produktif.
Pada angka 5 amar putusannya, disebutkan, "Menghukum tergugat supaya mengosongkan objek sengketa dan mengembalikan objek sengketa kepada status dan fungsinya kembali sebagai kawasan hutan dengan cara melakukan penebangan pohon kelapa sawit di atas areal seluas 2.823,52 Ha dan kemudian melakukan penanaman kembali dengan menanam tanaman akasia (hutan tanaman industry) serta merawat dan memupuknya sampai tumbuh dengan sempurna."
"Seperti kami sampaikan tadi, kalau tanggal 8 Februari akan dieksekusi, kami akan kerahkan seluruh karyawan PTPN V untuk hadang. Kami punya semboyan, satu tergores semua terluka. Kami akan tetap pertahankan agar eksekusi lahan tidak terjadi. Kami siap turunkan 12.000 karyawan PTPN," kata Asman Sinaga.
Sadino menjelaskan, pangkal tumpang tindih yang berujung sengketa tersebut adalah di dalam kebun tersebut ada izin Hutan Tanaman Industri (HTI) yang diberikan kepada sebuah perusahaan swasta.
Dia menyebutkan, sebelum tahun 2004, yakni tahun 1995 sudah ada nini mamak sebagai pemangku adat dan sudah menyerahkan lahan kepada PTPN V dalam rangka bapak angkat.
"Sekitar 28000 ha lahan yang digugat Yayasan Riau Madani, di dalamnya ada ratusan bagian lahan yang sudah berstatus SHM. Lahan 2800 ha ini sebenarnya berlokasi di Kabupaten Rokan Hulu, bukan di Kabupaten Kampar. Jadi eksekusi ini menjadi tidak sah. Meski putusan ini sudah in cracht, tetap tidak bisa dieksekusi," tegasnya.
Dia menambahkan, lahan yang dieksekusi ini juga merupakan aset BUMN yang tidak bisa begitu saja dieksekusi. "Putusan pengadilan ini dengan sendirinya tidak bisa dieksekusi sejak putusan ini terbit tahun 2015, kecuali ada pihak yang mendorong dan memodali," kata dia.
"Karena itu, kami meminta kepada pengadilan agar ini tidak dieksekusi demi menghindari kerugian yang lebih besar.
Yang bisa dilakukan oleh Menteri Kehutanan saat ini adalah merevisi status HTI yang saat ini dimiliki oleh perusahaan swasta di atas lahan tersebut," tandas Sadino.
Salah seorang perwakilan dari Pemkab Rokan Hulu menyatakan, putusan PN Bangkinang ini salah alamat karena wilayah yang akan dieksekusi adalah di wilayah Rokan Hulu. Lahan di Desa Sungai Agung yang akan dieksekusi tidak berada di wilayah Kabupaten Kampar tapi di Kabupaten Rokan Hulu.
"Kita melihat ini lahan secara administratif berada di wilayah Desa Kabun. Sertifikat warga dan kegiatan administratif selama ini, dan juga proses pemilihan kepala daerah berada di wilayah Rokan Hulu," imbuhnya.
Mohamad Aidi, anggota DPRD Rokan Hulu, menambahkan, di tahun 1999, sebelum periode pemekaran, lahan yang disengketakan berada di Kabupaten Kampar.
"Saat perjanjian pengelolaan kebun antara PTPN V dengan warga Desa Kabun, masih berstatus wilayah administratif Kampar, dan itu diketahui oleh Pemerintah Kabupaten Kampar. Tapi saat dilakukan pemekaran, pembentukan kabupaten Rokan Hulu, wilayah desa Kabun masuk dalam Kabupaten Rokan Hulu. Karena itu wajar jika warga Desa Kabun memilih bertahan dengan lahan yang ada sekarang," ungkapnya.