TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA — Gerak nilai tukar rupiah menunjukkan penguatannya pada perdagangan Kamis (31/5/2018).
Mengutip Bloomberg, pagi ini rupiah menguat ke level Rp 13.955 per dolar AS dari posisi pembukaan perdagangan kemarin yang melemah di level Rp 14.025 per dolar AS.
Day range rupiah diestimasikan akan bergerak pada rentang Rp 13.913 hingga Rp 13.960 per dolar AS. Pelemahan rupiah sejak awal tahun tercatat sebesar 3,23 persen.
Analis Senior Binaartha Sekuritas Reza Priyambada mengemukakan, keputusan Bank Indonesia yang menaikkan tingkat suku bunga acuan BI 7 Days Reverse Repo Rate sebesar 25 basis poin menjadi 4,75 persen dari sebelumnya 4,50 persen dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) Tambahan Bank Indonesia dinilai sudah diperkirakan pelaku pasar.
Menurutnya, rupiah lebih banyak merespon negatif kondisi global dimana laju Euro yang mengalami penurunan dibandingkan dolar AS setelah pelaku pasar mengkhawatirkan kondisi politik di Italia.
Baca: Duh, Pria Ini Jadi Korban Penyekapan Dua Bule Gara-gara Iklan Motor Vespa
“Fluktuasi Rupiah yang cenderung berkurang diharapkan masih membuka peluang Rupiah untuk kembali menguat,” kata Reza dalam risetnya, Kamis (31/5/2018).
Menurutnya, laju rupiah diestimasikan akan bergerak pada kisaran support Rp 13.970 dan resisten Rp 13.988 per dolar AS.
Jangka Pendek
Peneliti Institute For Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira Adhinegara berpendapat, kenaikan suku bunga acuan BI 7 Days Reverse Repo Rate diprediksi akan mendorong penguatan mata uang garuda untuk jangka pendek.
“Setelah kenaikan bunga acuan Rupiah diprediksi menguat di kisaran Rp 13.900 - Rp 14.000 untuk jangka pendek,” kata Bhima kepada Tribunnews.com, Rabu (30/5/2018) di Jakarta.
Baca: PKS Dukung KPU, Tolak Mantan Koruptor Jadi Caleg
Menurutnya, efek penguatan Rupiah dirasa kecil karena sebelumnya pelaku pasar telah melakukan price in atau memasukan faktor kenaikan bunga acuan yang kedua ke harga saham.
“Meskipun BI menaikkan bunga acuan lagi di RDG tambahan pelaku pasar tidak terlalu surprise. Yang jadi perhatian utama adalah melihat sinyal berapa kali BI akan naikan bunga acuan sampai akhir tahun, apakah benar benar pre emptive mengantisipasi setiap naiknya Fed rate atau lebih longgar,” pungkas Bhima.