TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Keputusan The Federal Reserves yang menaikan kisaran target suku bunga acuan Amerika Serikat sebesar 1,75%-2% memang perlu diwaspadai oleh pelaku pasar keuangan di Indonesia.
Namun, kenaikan tersebut tidak harus selalu ditanggapi secara negatif.
Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Wimboh Santoso mengaku, kenaikan suku bunga acuan AS merupakan sesuatu yang di luar kontrol tiap negara.
Terlepas dari itu, keputusan yang diambil The Fed pada 13 Juni lalu sebenarnya menandakan bahwa perekonomian di negara tersebut tengah dalam fase kebangkitan.
Imbasnya, kebutuhan AS terhadap bahan-bahan baku dari negara berkembang, seperti Indonesia akan meningkat. Hal tersebut dapat menjadi peluang bagi Indonesia.
“Tinggal bagaimana pasar keuangan kita bisa meminimalisir dampak negatif kenaikan tersebut,” kata Wimboh ketika ditemui di kediamannya di Jakarta Selatan, Jumat (15/6).
Baca: Lebaran Tahun Ini, Cita Citata Ingin Datangi Teman-teman di Jakarta
Mengingat suku bunga AS dan BI 7 Day Repo Rate telah naik, ia tidak mempermasalahkan apabila perbankan juga ikut menaikan suku bunga kreditnya. Ini dengan catatan, pihak perbankan melakukannya dengan terukur dan efisien.
Pasalnya, kenaikan suku bunga acuan AS tidak dilakukan secara instan. “Tiap industri sebenarnya punya waktu untuk menyesuaikan diri,” kata dia.
Wimboh juga berharap, seiring dengan makin berkembangnya pasar modal Indonesia, hal itu akan membantu para investor untuk terhindar dari risiko kenaikan suku bunga acuan AS.
Sebab, jika jumlah emiten dan produk investasi terus bertambah, pilihan investasi bagi investor menjadi lebih bervariasi.
“Kalau pilihan investasinya banyak, otomatis pasar tidak terlalu sensitif terhadap kenaikan Fed Fund Rate,” ujarnya.