TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Intervensi Bank Indonesia melalui cadangan devisa dan menaikkan tingkat suku bunga acuan tidak terlalu ampuh dalam menjaga nilai tukar IDR pada posisi yang ideal.
Namun begitu, kinerja perusahaan-perusahaan yang terdapat di bursa masih dapat berada pada teritori positf.
Sektor-sektor yang bisnisnya banyak melakukan ekspor mengalami kenaikan penerimaan yang positif dari pelemahan nilai tukar. Kemudian sektor keuangan, spesifik emiten perbankan, juga mendapatkan tren positif, didukung oleh kenaikan tingkat pinjaman kredit perbankan pada tahun ini.
Edwin Ridwan, CFA, FRM, selaku Chief Investment Officer PT Danareksa Investment Management (DIM) menyampaikan melalui keterangan persnya mengatakan, angka pertumbuhan ekonomi Indonesia yang berada di kisaran di atas 5% tertolong oleh membaiknya konsumsi masyarakat.
"Tingkat konsumsi rumah tangga pada tahun 2018 kembali membaik, tumbuh di atas 5%, setelah sejak tahun 2012 mengalami tren penurunan di bawah 5% pada tahun 2017,” katanya, Senin (5/11/2018).
Baca: Jalan Panjang Literasi Reksadana di Indonesia
Selain konsumsi, Edwin menambahkan belanja pemerintah yang fokus pada infrastruktur turut mendongkrak perekonomian Indonesia, naik di atas 5% setelah pada akhir tahun lalu turun di bawah 4%.
Kondisi Indonesia tergolong baik jika dibandingkan dengan negara-negara lain yang masuk dalam kategori negara berkembang karena masih dapat membukukan pertumbuhan ekonomi di atas tahun lalu pada saat negara berkembang lain seperti, Turki dan Argentina mengalami kontraksi dalam ekonominya.
Situasi ini tidak lepas dari adanya situasi global yang tidak kondusif akibat dari aksi Presiden AS, Donald Trump, yang mencanangkan penyesuaian tarif impor masuk AS dengan banyak negara mitra dagang mereka.
Selain itu, ketegangan geopolitik antara AS-Iran juga menyebabkan kekhawatiran atas persediaan minyak global yang membuat harga minyak Brent naik di atas USD 80 per barel, setelah sepanjang tahun 2018 berada di kisaran USD 60 dollar per barel.
Ditambah dengan rencana banyak negara maju di dunia yang melakukan penyesuaian atas kebijakan moneter yang selama ini longgar mulai melakukan penyesuaian karena perekonomian yang semakin baik pada kawasan Eropa dan Amerika Serikat.
Baca: Kota Satu Properti Jadi Pendatang Baru, Catat Saham Perdana di BEI
“Dampak dari kondisi ini membuat investor mulai melakukan penyesuaian portofolio yang selama ini menikmati pertumbuhan positif di negara berkembang, akhirnya mulai melakukan penambahan investasi ke negara maju dari negara berkembang. Namun, kami nilai situasi ini tidak akan terus-menerus, dimana pada saat ini kalau kita ukur valuasi AS membukukan angka yang relatif tinggi sejak tahun 2011.” kata Edwin.
Di tahun 2011, PE indeks S&P 500 tercatat di angka 16X, dan di tahun 2018 berada di angka 22X, pada saat setahun terakhir dana yang masuk di pasar negara berkembang sedang banyak keluar pindah negara maju dan membuat indeks FTSE Asia Pacific turun di angka 11X dari tahun 2016 berada di angka 15X. Hal ini dapat menjadi pertimbangan untuk investor mencari valuasi yang lebih atraktif dalam portofolio.
Namun, situasi yang terjadi saat ini akan menemukan titik ekulibrium baru. Dimana Amerika Serikat dan seluruh mitra dagang akan memasuki babak baru lalu lintas perdagangan antar negara dan ketegangan geopolitik akan berangsur mereda dari tingkat tensinya yang tinggi saat ini.
Pembuat kebijakan di negara-negara maju akan menempuh jalan tengah yang baik dalam menjaga stabilitas ekonomi dan juga keamanan antar negara.