Laporan Wartawan Tribunnews.com, Syahrizal Sidik
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA — Harus diakui tahun 2018 bukanlah tahun yang mudah bagi laju rupiah. Laju mata uang garuda sepanjang tahun 2018 bergerak fluktuatif. Hingga 21 Desember 2018, mengacu data kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) Bank Indonesia rupiah ditransaksikan Rp 14.480 per dolar Amerika Serikat.
Posisi tersebut terdepresiasi cukup dalam dari kurs Rupiah yang dipatok dalam asumsi makroekonomi dalam Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara 2018 di level Rp 13.400 per dolar AS.
Jika ditilik berdasarkan tren, sepanjang triwulan pertama 2018, laju kurs rupiah bergerak pada kisaran Rp 13.542 – Rp 13.756 per dolar AS.
Namun, pada triwulan kedua, kurs rupiah menembus ke level Rp 14.036 per dolar AS tepatnya pada 8 Mei 2018. Hal itu menyusul defisit neraca transaksi berjalan pada triwulan kedua 2018 yang naik menjadi 8 miliar dolar AS, lebih tinggi dibandingkan defisit pada triwulan I-2018 sebesar 5,7 miliar dolar AS atau 2,2 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Sepanjang triwulan ketiga, laju Rupiah kian meradang. Rupiah melemah kian mendekati level Rp 15.000 per dolar AS. Hal itu seiring dibayangi sentimen negatif krisis ekonomi di Turki dan Argentina yang menyebabkan jatuhnya mata uang lira mencapai 40 persen. Di pasar spot, pada 13 Agustus 2018, Rupiah anjlok ke posisi Rp 14.608 per dolar AS atau terdepresiasi 7,80 persen sejak awal tahun 2018.
Terdepresiasinya mata uang garuda juga dibarengi oleh kembali defisitnya transaksi berjalan pada triwulan III 2018 sebesar 8,8 miliar dolar AS atau 3,37 persen Produk Domestik Bruto, lebih tinggi dibandingkan dengan defisit triwulan sebelumnya sebesar 8,0 miliar dolar AS atau setara 3,02 persen Produk Domestik.
Baca: Cerita Rizal Armada Tentang Tsunami di Banten dan Ifan, Sahabatnya di Band Seventeen
Peningkatan defisit neraca transaksi berjalan itu dipengaruhi oleh penurunan kinerja neraca perdagangan barang dan meningkatnya defisit neraca jasa.
Penurunan kinerja neraca perdagangan barang terutama dipengaruhi oleh meningkatnya defisit neraca perdagangan migas, sementara peningkatan surplus neraca perdagangan barang nonmigas relatif terbatas akibat tingginya impor karena kuatnya permintaan domestik.
Diwarnai Interupsi
Melemahnya nilai tukar Rupiah terhadap dolar Amerika Serikat yang mendekati level psikologis Rp 15.000 per dolar AS turut diwarnai interupsi anggota dewan dalam Rapat Paripurna awal September 2018 di Kompleks Parlemen, Jakarta. Tiga anggota dewan dari Fraksi Partai Gerindra, Demokrat dan PAN menyampaikan interupsinya.
Baca: Perjuangan Hidup-Mati Willy Siska Selamatkan 2 Anak di Papan Kayu Saat Tsunami Menerjang Anyer
Anggota Fraksi Partai Gerindra Bambang Haryo menyampaikan perihal kurs Rupiah yang mendekati Rp 15 ribu per dolar AS selalu dikatakan Presiden Jokowi di hadapan rakyat bahwa kondisi tersebut tidak perlu perlu dikhawatirkan. “Perlu diketahui kondisi ini tentu sangat memprihatinkan karena begitu banyak komoditas pangan itu impor mulai dari kedelai hampor 100 persen, jagung impor, gula impor, susu 80 persen impor, ini menurut saya sudah terlalu memprihatinkan,” kata Bambang di Kompleks Parlemen, Senayan.
Interupsi juga disampaikan Michael Wattimena dari Fraksi Partai Demokrat yang menyoroti pelemahan kurs Rupiah seharusnya tidak melulu menyalahkan dampak eksternal seperti tekanan krisis di Argentina dan Turki maupun perang dagang Amerika Serikat dengan China.
Baca: Sisir Rumah Sakit, Keluarga Temukan Finalis None Jakarta Timur Sudah Berada di Kantong Mayat
“Kalau bisa jangan segala sesuatu salahkan pihak luar, kami minta ibu Menteri Keuangan menjelaskan fondasi ekonomi kita saat ini,” ujar Wattimena.
Menurut Wattimena, kondisi kurs Rupiah yang sempat menyentuh level Rp 15 ribu per dolar AS, pemerintah harus terbuka perihal kondisi sesungguhnya fundamental ekonomi Indonesia. “Sekarang kurs Rupiah sudah jadi Rp 14.900, kondisi ini kami ingin ibu menjelaskan ke kami secara jujur dan setulusnya bagaimana kondisi fundamental ekonomi kita. Jujur kami tidak mau lagi berada pada suasana kelam 1998,” imbuhnya.
Tembus Rp 15.000 Per Dolar AS
Di awal Oktober 2018, Rupiah kembali melemah tajam, menembus level Rp 15.088 per dolar AS. Rupiah juga kembali mencatatkan pelemahannya ke level Rp 15.246 pada 14 Oktober 2018.
Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gajah Mada Tony Prasetiantono menilai pelemahan nilai tukar Rupiah tidak hanya dipengaruhi oleh rencana kenaikan tingkat suku bunga oleh bank sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve.
“Rupiah ini dihimpit tiga masalah, suku bunga di Amerika naik, perang dagang, dan kenaikan harga minyak. Rupiah cenderung terdepresiasi lebih besar dari emerging market yang lain,” kata Tony kepada Tribunnews.com, beberapa waktu lalu.
Menurutnya, merangkaknya harga minyak dunia yang menyentuh level 77 dolar AS per barrel mengganggu kredibilitas fiskal Indonesia. Sebagai negara pengimpor minyak, kenaikan harga minyak yang signifikan dapat mengganggu kondisi fiskal APBN. Selain itu, adanya perang dagang Amerika Serikat - China akan menekan neraca perdagangan Indonesia.
Ekonom Faisal Basri menilai, nilai tukar Rupiah masih akan rentan mengalami pelemahan selama transaksi berjalan masih mencatatkan defisit. Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan, defisit artinya kekurangan.
Transaksi berjalan menunjukkan kegiatan ekspor-impor barang, jasa, dan pendapatan. Dengan transaksi berjalan yang defisit, artinya kemampuan menghasilkan devisa dari kegiatan ekspor-impor, lebih rendah dari keharusan membayar devisa. “Selama transaksi berjalan defisit pasti melemah,” kata Faisal Basri kepada Tribunnews.com, akhir Oktober 2018 lalu.
Bahkan, Faisal memprediksi, tren pelemahan Rupiah masih akan berlanjut di tahun depan. Kendati pemerintah mematok asumsi kurs Rupiah dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2019 di level Rp 15.000 per dolar Amerika Serikat, tekanan pada nilai tukar masih ada.
“Pemerintah saja bikin asumsi APBN sudah Rp 15 ribu, biasanya realisasi lebih tinggi daripada target,” ungkap Faisal.
Respons Pengusaha
Menyiasati dampak melemahnya nilai tukar Rupiah terhadap dolar Amerika Serikat, pengusaha menempuh upaya efisiensi agar pelemahan Rupiah tidak berdampak negatif bagi dunia usaha. Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Rosan Perkasa Roeslani mengemukakan, langkah efisiensi tersebut ialah dengan menekan marjin keuntungan.
“Opsinya kan ada dua, pertama kita bisa berikan ini kepada konsumen, atau kita cut margin kita,” kata Rosan, saat ditemui di Gedung Bursa Efek Indonesia, Sudirman, Jakarta.
Sementara itu, menyiasati pelemahan kurs, Presiden Direktur PT Astra International Tbk (ASII) Prijono Sugiarto mengatakan, Astra melakukan lokalisasi terhadap produk otomotifnya.
Pihaknya sudah belajar dari krisis moneter di tahun 1998 dan pertengahan tahun 2.000an. Dengan melakukan lokalisasi tersebut, kata Prijono sangat membantu perseroan saat terjadi pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
"Ini membantu (saat terjadi) pelemahan rupiah ke dolar AS. Kita beruntung lakukan lokalisasi, sehingga sekarang ini utilisasi factory Astra hampir dipakai semua," kata Prijono saat jumpa pers di Menara Astra Jakarta.
Menurut Priyono, pelemahan nilai tukar dialami negara-negara lain, tidak hanya Indonesia. Depresiasi Rupiah masih lebih rendah dibandingkan negara sebanding, seperti India, Brazil, Turki dan Rusia. Faktor menguatnya dolar Amerika Serikat dan pengetatatan likuiditas menyebabkan arus modal keluar dari negara-negara emerging yang menyebabkan tekanan pada nilai tukar mata uang berbagai negara, termasuk Indonesia.
“Kalau mata uang harus melihatnya mata uang ini bukan hanya Indonesia yang kena, kalau kita ada depresiasi 12 persen semenjak Desember tahun lalu, saya tidak bilang ini normal, ini tentu mengganggu, tapi ini bukan akhir dari dunia,” ujar Prijono.
Direktur Eksekutif Departemen Statistik BPS Yati Kurniati mengatakan, sejumlah industri yang rentan terdampak pelemahan nilai tukar Rupiah seperti industri kimia dan farmasi, industri tekstil, makanan dan minuman lebih memilih untuk menekan marjin daripada menaikkan harga di tengah fluktuasi nilai tukar rupiah.
“Berdasarkan survei kami, mereka belum mengubah harga jual tapi menurunkan marjin, tapi dia juga tidak mau sampai rugi,” kata Yati di Gedung Bank Indonesia, Jakarta, Kamis (12/7/2018).
Bank Indonesia, telah menempuh sejumlah kebijakan moneternya untuk meredam gejolak Rupiah dengan menaikkan tingkat suku bunga acuan BI 7day Reverse Repo Rate. Sepanjang 2018, bank sentral telah menaikkan suku bunga sebesar 175 basis poin pada Mei hingga Desember 2018 dari level 4,50 persen menjadi 6,00 persen. Namun, dalam Rapat Dewan Gubernur pada 19-20 Desember 2018, BI memutuskan untuk tetap mempertahankan tingkat suku bunga acuan BI 7-day Reverse Repo Rate di level 6 persen.
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menyebut, kebijakan mempertahankan suku bunga acuan tersebut telah mempertimbankan kebijakan bank sentral Amerika Serikat The Federal Reserve yang menaikkan suku bunga acuannya pada 19 Desember 2018 sebesar 25 basis poin menjadi jadi 2,25-,2,5 persen maupun dalam beberapa bulan ke depan.
“Kami turut mencermati arah kebijakan The Fed yang sebelumnya kami perkirakan akan menaikkan suku bunga sebanyak tiga kali, tapi pada 2019 mengarah dua kali,” kata Perry, di Kompleks Bank Indonesia, Jakarta, Kamis (20/12/2018).
Selain itu, kebijakan mempertahankan suku bunga di level 6 persen, kata Perry juga telah memperhitungkan defisit transaksi berjalan pada triwulan keempat. Pasalnya, pada November 2018, neraca perdagangan mengalami defisit sebesar 2,05 miliar dolar AS. Defisit itu disebabkan lantaran pertumbuhan ekonomi global yang melandai dan komositas ekspor yang menurun. “BI meyakini tingkat suku bunga masih konsisten dengan upaya menurunkan defisit transaksi berjalan ke dalam batas yang aman dan mempertahankan daya tarik aset keuangan domestik dan mempertimbangkan suku bunga global dalam beberapa bulan ke depan,” kata Perry.
Mewaspadai Ketidakpastian Global
Bank Indonesia menyatakan tekanan nilai tukar Rupiah pada Desember lantaran dipengaruhi kembali meningkatnya ketidakpastian global serta permintaan valuta asing musiman untuk kebutuhan akhir tahun.
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menyampaikan, pihaknya terus mewaspadai risiko ketidakpastian pasar keuangan global dengan tetap melakukan langkah-langkah stabilisasi nilai tukar sesuai nilai fundamentalnya, dengan tetap mendorong berjalannya mekanisme pasar dan mendukung upaya-upaya pengembangan pasar keuangan. “BI mewaspadai risiko teridakpastian global, dengan mendorong berjalannya mekanisme pasar,” kata Perry di Kompleks Bank Indonesia, Jakarta.
Sebelumnya, pada November lalu, Rupiah sempat menguat 6,29 persen dibandingkan level bulan sebelumnya. Penguatan itu dipengaruhi oleh aliran masuk modal asing yang cukup besar akibat dampak positif perekonomian domestik yang tetap kondusif dan eskalasi ketegangan hubungan dagang AS-Tiongkok yang sempat mereda.
Tidak hanya itu, Perry mengatakan, kebijakan Domestic Non-Deliverable Forward (DNDF) juga turut andil menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Saat ini, dari sisi volume maupun transaksi supply demand DNDF terus bergerak lebih baik.
Bank Sentral juga akan terus memantau perkembangan dinamika global, baik hubungan perdagangan AS dan China, kenaikan suku bunga The Fed, hingga kondisi di kawasan Eropa. Bank Indonesia juga akan melakukan intervensi pasar untuk menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah ke depannya.