TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ombudsman Republik Indonesia menemukan adanya sejumlah maladministrasi dalam lelang blok tambang yang dilakukan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada tahun lalu.
Ombudsman RI memberikan waktu selama 30 hari bagi Kementerian ESDM untuk memberikan tanggapan dan menyampaikan langkah-langkah yang akan dilakukan untuk menanggapi Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) tersebut.
Saat dikonfirmasi, Komisioner Ombudsman RI Laode Ida masih belum bersedia menerangkan detail isi dari LAHP tersebut. Laode hanya mengatakan, LAHP itu sudah disampaikan ke Kementerian ESDM pada Rabu (23/1) dan memastikan bahwa kajian administrasi hukum dari proses lelang blok tambang itu sudah dijelaskan rinci dalam LAHP.
"Sudah diserahkan ke ESDM, Rabu, dua hari lalu. Kajian administrasi hukumnya sangat jelas, diurai tuntas dalam LAHP Ombudsman," kata Laode saat dihubungi Kontan.co.id, Jum'at (25/1/2019).
Asal tahu saja, pemeriksaan Ombudsman ini dilakukan untuk menindaklanjuti keberatan dari pihak Pemda Sulawesi Tengah (Sulteng) dan Sulawesi Tenggara (Sultra) atas lelang prioritas yang dimenangkan oleh PT Aneka Tambang (Antam) terhadap dua wilayah eks. PT Vale Indonesia.
Yakni Blok tambang nikel Bahodopi Utara di Sulteng yang dimenangkan Antam pada 1 Agustus 2018 dan Blok tambang nikel Maratape di Sultra pada 21 Agustus 2018.
Dari total enam Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) yang dilelang, hanya kedua wilayah tersebut yang laku. Sedangkan keempat WIUPK tersisa lainnya masih menggantung dan rencananya akan dilelang terbuka pada tahun ini, namun masih terganjal oleh pemeriksaan Ombudsman.
Menurut informasi yang didapatkan KONTAN, ada sejumlah poin dalam LAHP Ombudsman tersebut. Antara lain, Pertama, mengenai penetapan WIUPK, dimana seharusnya wilayah tambang yang bersangkutan berubah terlebih dulu menjadi Wilayah Pencadangan Negara (WPN).
Penetapan WPN itu mesti melalui persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan penetapan dari WPN menjadi WIUPK perlu mempertimbangkan aspirasi pemerintah daerah.
Kedua, mengenai status wilayah, di mana seharusnya WIUPK Operasi Produksi tidak bisa serta merta berubah statusnya menjadi WIUPK Eksplorasi. Sementara poin ketiga dan keempat berkaitan dengan peserta lelang.
Dalam hal ini, Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Sulawesi Tengah, yaitu PD Konosara, dinilai telah memenuhi persyaratan finansial, namun batal menjadi pemenang lelang.
Sementara BUMD PT Pembangunan Sulawesi Tengah tidak mendapatkan kesempatan melakukan evaluasi ulang untuk melengkapi dokumen yang diperlukan.
Berdasarkan temuan itu, Ombudsman pun menyarankan Kementerian ESDM untuk membatalkan Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM Nomor 1802 K/30/MEM/2018 tentang WIUP dan WIUPK periode tahun 2018.
Alhasil, jika status wilayah berubah dari WIUPK menjadi WIUP, maka pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk mengelola wilayah tambang tersebut. Selain itu, keputusan pemenang lelang pada tahun lalu pun disarankan untuk dikaji ulang.
Dihubungi terpisah, Kepala Subbagian Publikasi dan Dokumentasi Ombudsman Maharandy juga masih belum bisa untuk memberikan detail isi dari LAHP tersebut. Hanya saja, Maharandy tak menyangkal mengenai sejumlah poin yang disebutkan di atas.
Ia mengatakan, bahwa LAHP itu sifatnya masih berupa saran, sehingga Kementerian ESDM masih diberikan kesempatan untuk memberikan perbaikan dan tanggapan sesuai LAHP dari Ombudsman.
Maharandy bilang, Kementerian ESDM diberikan waktu selama 30 hari sejak menerima LAHP untuk menanggapi dan memberikan langkah-langkah yang akan dilakukan dari tindakan korektif Ombudsman.
Dalam jangka waktu itu, Ombudsman pun akan melakukan monitoring. "Perbaikan sampai selesainya tergantung dari monitoring Ombudsman sejauh mana tingkat kesulitannya. Jika sudah dijalankan semua perbaikan-perbaikannya,Ombudsman tidak perlu lagi mengeluarkan Rekomendasi," ungkap Maharandy saat dihubungi Kontan.co.id, Minggu (27/1).
Adapun, karena ada pelaporan kepada Ombudsman ini, Antam pun belum bisa mendapatkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) eksplorasi dari dua blok tambang yang dimenangkannya. Begitu pun dengan Kementerian ESDM yang terganjal untuk melakukan lelang terhadap empat WIUPK tersisa.
Yakni blok tambang nikel Latao di Kolaka Utara dengan luas 3.148 ha, blok tambang nikel Suasua di Kolaka Utara seluas 5.899 ha, blok tambang nikel Kolonodale di Morowali Utara seluas 1.193 ha, dan blok tambang batubara di Bungo seluas 826 ha.
Menanggapi hal ini, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono menyatakan pihaknya masih melakukan evaluasi untuk menanggapi laporan Ombudsman ini.
Baca: Oxfam: Pajak Bikin Kesenjangan Kaya-Miskin Makin Lebar
Bambang tidak menyebut kapan evaluasi itu bisa selesai, dan masih enggan memberikan tanggapan bagaimana kelanjutan lelang empat WIUPK tersisa maupun dua WIUPK yang telah dimenangkan Antam. "Sudah kita terima, sedang kita evaluasi. Belum tahu, nanti kita lihat hasil evaluasinya," ujarnya.
Mengomentari hal ini Sekretaris Perusahaan Antam Aprilandi Hidayat Setia mengatakan bahwa pihaknya berkomitmen untuk menaati regulasi dan keputusan yang berlaku. Sembari menunggu arahan dan informasi lebih lanjut dari Kementerian ESDM.
"Antam pada prinsipnya mengikuti prosedur dan regulasi yang berlaku dan saat ini masih menunggu informasi dari KESDM" ujarnya.
Sebelumnya, Direktur Utama Antam Arie Prabowo Ariotedjo mengklaim bahwa pihaknya telah melakukan prosedur sesuai dengan peraturan lelang yang berlaku saat itu, termasuk untuk membayar Kompensasi Data Informasi (KDI).
Sehingga, urusan Antam selesai ketika Kementerian ESDM memutuskan perusahaan tambang mineral plat merah ini sebagai pemenang atas kedua blok itu.
"Prosesnya (Ombudsman) itu ke ESDM, bukan ke kami. Yang jelas Antam sudah mendapatkan ketetapan, keputusan dari ESDM sebagai pemenang, dan kami sudah menyetor dana sesuai dengan KDI waktu itu. Kalau izinnya (IUP eksplorasi) sudah ke luar, ya kami tinggal lakukan eksplorasi. Kalau bisa secepatnya,” kata Arie.
Sebagai informasi, berdasarkan Kepmen ESDM Nomor 1805.K/30/MEM/2018 tentang Harga KDI dan informasi penggunaan lahan WIUP dan WIUPK periode tahun 2018, luas wilayah dan nilai KDI kedua blok tersebut adalah sebagai berikut: Blok Maratape seluas 1.681 hektare (ha) dengan harga KDI sebesar Rp 184,05 miliar, serta Blok Bahodopi Utara seluas 1.896 ha dengan nilai KDI Rp 184,8 miliar.