Namun, pada akhir 2018, jumlahnya hanya tinggal 728.
”Ada kekhawatiran yang sangat mendasar dari industri skala menengah dan kecil terkait kebijakan pemerintah yang tidak menguntungkan keberlangsungan IHT. Di sisi lain, posisi kretek 95 persen menguasai pasar dalam negeri,” lanjutnya.
Firman tidak menutup mata, tujuan pemerintah lewat berbagai kebijakan tarif cukai adalah untuk meningkatkan penerimaan negara.
Tetapi di sisi lain, kebijakan tersebut justru berpotensi menutup industri skala menengah ke bawah.
"Korbannya akan sangat besar. Selain berdampak terhadap tenaga kerja, kehidupan petani terancam, industri skala menengah ke bawah juga mengalami kebangkrutan. Dan yang paling ngeri adalah akan terjadi monopoli dan oligopoli yang luar biasa dalam industri ini,” lanjutnya.
Terkait itu, Firman menyatakan, banyak hal masih perlu dikaji kembali untuk memenuhi asas keadilan dalam IHT.
Mulai dari pentingnya kebijakan terkait tarif untuk golongan II ke bawah, perlunya regulasi yang membedakan pemberlakuan tarif impor secara progresif bila sudah melebihi 25 persen, hingga melindungi Sigaret Kretek Tangan (SKT) dari pergeseran yang terus menerus terjadi ke sigaret berbasis mesin.
”Ujungnya adalah bagaimana mengakomodir semua masalah itu dalam RUU Pertembakauan. Nantinya, undang-udang ini harus bisa memberikan rasa keadilan, terutama bagi petani dan pekerja, di samping menimbang penerimaan negara dan industri dalam negeri,” tuturnya.
Firman sendiri berpendapat, RUU Pertembakauan tidak perlu diputuskan terburu-buru. ”Yang penting kualitasnya harus baik dan bukan asal jadi,” tegasnya. (*)