TRIBUNNEWS.COM, SURABAYA - Pemerintah terus mendorong Research and Development (R&D) dalam memitigasi atau mengurangi risiko dan dampak bahaya kesehatan pada rokok.
Kementerian Perindustrian akan menyiapkan regulasi baru tentang produk Industri Hasil Tembakau (IHT) tersebut dalam menyambut era industri 4.0.
Hal itu dikatakan Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto di sela acara silaturahim dengan para pekerja sigaret kretek tangan (SKT) di pusat fasilitas produksi PT HM Sampoerna Tbk di Surabaya, Jawa Timur, akhir pekan lalu.
Salah satu yang akan dikembangkan adalah produk tembakau alternatif yang dipanaskan dan tanpa asap.
Baca: DPR Diminta Introspeksi Diri
“Pemerintah juga akan membahas itu untuk dikembangkan. Nantinya, tentu akan memitigasi dampak risiko merokok,” ujar Airlangga.
Perkembangan industri 4.0, kata Airlangga, harus bisa dikembangkan dengan baik. Sehingga pihaknya memberikan apresiasi ketika induk perusahaan Sampoerna mulai mengembangkan produk tembakau alternatif IQOS, yang dipanaskan, bukan dibakar.
Langkah ini dipandang akan memberikan andil dalam memitigasi risiko dan bahaya merokok.
Ia pun sudah melihat secara langsung teknologi baru tersebut. “Kita harus apresiasi terhadap upaya ini,” tegasnya.
Kemenperin, katanya, siap bekerja sama dengan Sampoerna.
Direktur Urusan Eksternal Sampoerna, Elvira Lianita menuturkan, induk perusahaan Sampoerna sudah mengembangkan produk IQOS.
Hal ini sekaligus dapat menjadi jawaban atas dorongan pemerintah, dalam hal ini Kemenperin, dalam memitigasi dampak kesehatan dari rokok.
Saat ini, IQOS sudah dipasarkan di lebih dari 40 negara di Eropa dan Asia, termasuk Jepang dan Korea. Namun, produk tersebut memang belum dipasarkan di Indonesia.
Elvira pun menjelaskan perbedaan antara IQOS dan rokok.
"Perbedaannya terletak dari cara konsumsinya saja. Kalau rokok dibakar, sementara Iqos dipanaskan,” ujar Elvira.
Ia melanjutkan, mengonsumsi produk IQOS berpotensi memiliki risiko kesehatan yang lebih rendah dibanding mengonsumsi rokok. Pengembangan yang dilakukan memang bertujuan memitigasi risiko dan dampak kesehatan yang diakibatkan oleh rokok.
“Kalau dipanaskan, maka pembentukan zat-zat kimia yang berbahaya maupun berpotensi berbahaya, lebih kecil daripada dibakar. Itu perbedaan mendasarnya,” tambahnya.
Tentang komersialisasi IQOS di Indonesia, Elvira belum tahu kapan akan terealisasi. Untuk memasarkan produk ini, dua parameter menjadi pertimbangan utamanya. Pertama, terkait dengan pemahaman perokok dewasa tentang produk tersebut.
Sebelum meluncurkan IQOS untuk komersialisasi di Indonesia, pihaknya ingin mempelajari dulu bagaimana pemahaman perokok dewasa tentang perbedaan antara IQOS yang dipanaskan dan rokok yang dibakar.
“Jadi kami harus memastikan bahwa perokok dewasa paham perbedaannya, sehingga mereka bisa memilih dengan informasi yang cukup,” ungkapnya.
Adapun parameter kedua tentang regulasi dan kebijakan fiskal yang tepat untuk produk ini.
“Hal ini memang ada aturan cukainya. Tetapi masih ada hal-hal yang perlu disikapi pemerintah baik dari sisi regulasinya maupun sisi fiskalnya. sehingga tercipta iklim usaha yang pasti dan berkelanjutan,” katanya.