TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sentimen negatif masyarakat dan pelaku ekonomi disinyalir akan muncul jika Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mempertahankan niat untuk memperpanjang jabatannya selaku Ketua Umum Partai Golkar.
Menurut Pengamat Ekonomi dari Universitas Palangka Raya Fitria Husnatarina, sentimen negatif bisa muncul lantaran Airlangga dianggap kehilangan independensi sebagai Menko Perekonomian.
Padahal, hal tersebut menjadi kebutuhan dasar yang harus dimiliki Menko Perekonomian jika ingin memperbaiki kondisi ekonomi negara.
“Idealnya kan laga politik (sebagai ketua umum parpol golkar) harus bisa dihindari ketika menjaga independensi sebagai Menko. Riset hampir selalu bisa membuktikan bahwa akan muncul sentimen negatif masyarakat terhadap dualisme atribut seperti ini,” kata Fitria kepada wartawan, Kamis (28/11/2019).
Baca: Indonesia Dorong Masyarakat Ekonomi ASEAN Tuntaskan Program Prioritas
Sejauh ini Airlangga dikabarkan akan kembali mencalonkan diri sebagai Ketum Golkar.
Kabar ini makin santer tersengar meski Airlangga telah didapuk sebagai Menko Perekonomian di Kabinet Indonesia Maju.
Sebagai catatan, selaku Menko Perekonomian tugas Airlangga terbilang tak mudah.
Dia harus bisa menjamin keberadaan iklim investasi yang mendukung untuk masuknya calon pemodal ke Indonesia.
Airlangga juga harus mampu mengejawantahkan pesan Presiden Joko Widodo agar Indonesia mampu bertahan menghadapi ancaman resesi global mulai tahun depan.
Sebagai catatan, sepanjang 2015-2018 pertumbuhan ekonomi Indonesia juga terus pada kisaran 4,88% hingga 5,17%.
Angka tersebut berjarak cukup jauh bila dibandingkan dengan target pertumbuhan ekonomi dalam RPJMN 2014-2019 pada angka 6% hingga 7%.
Baca : Kabar Buruk Tito Karnavian, Ucapannya Soal Reuni Akbar PA 212 Disoal, Dampaknya Ternyata Bisa Serius
Untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi dan perkembangan industri dalam negeri, Airlangga harus fokus dan menunjukkan komitmen siap bekerja secara independen sebagai Menko Perekonomian.
“Justru karena itu butuh komitmen. Merangkap jabatan itu kan bukti bahwa tata kelola sebuah lembaga goyah. Kayak ngak ada orang saja yang kompeten. Apalagi ini kan nggak linier demand politik dan strategi kenegaraan kan bisa sangat jauh berbeda dalam kontribusi terhadap kemaslahatan bangsa dan negara,” katanya.