Ia juga menuturkan, perusahaan baru mengambil kebijakan setelah mendapat tekanan dari serikat pekerja.
"Akhirnya mereka baru datang ke rumah saya setelah saya berminggu-minggu nggak masuk kerja, itu juga setelah ditekan sama serikat," kata Elitha.
"Terus mereka kemarin ngasih kebijakan setelah operasi (libur) satu minggu saja," sambungnya.
Elitha pun menuturkan kondisinya semakin parah ketika perusahaan memberikan demosi pada Elitha.
Baca: Buruh Gelar Demo di DPR Tolak Omnibus Law
Demosi tersebut ia terima akibat dirinya ikut mendemo perusahaan pada 2017 lalu.
"Saya diturunkan jabatan itu gara-gara saya ikut mogok kerja pada tahun 2017, seharusnya tidak boleh kan itu termasuk tindakan balasan dari perusahaan," tutur Elitha.
Merasa tidak mampu untuk bekerja di bagian produksi dalam kondisi kesehatannya tersebut, Elitha pun melakukan negosiasi dengan HRD.
"Saya coba untuk menegosiasi tapi dari perusahaan tetap menurunkan jabatan saya, saya tetap di produksi sampai sekarang," ujarnya.
Namun, Elitha juga mengatakan, sebelum ia dioperasi, perusahaan memindahkannya ke bagian produksi yang beban kerjanya lebih ringan.
Kendati demikian, kondisi Elitha sudah melemah sehingga ia pun harus dioperasi.
Menurut Elitha, banyak buruh perempuan lainnya yang kesulitan memperoleh cuti haid di saat kondisinya tidak memungkinkan untuk bekerja.
Hal itu lantaran faskes setempat yang mereka tuju tidak dapat memberikan SKD.
"Jadi kan perusahaan itu hanya memberikan cuti haid kalau ada SKD dari faskes setempat, yang kita daftarkan ke BPJS, sedangkan teman-teman, termasuk saya ketika minta SKD ke klinik perusahaan itu mereka akan bilang 'ini kan bukan penanganan dokter umum, ini penanganan bidan karena ini berkaitan dengan siklus haid dan kandungan, ini bukan spesialis saya' ," terang Elitha.
"Sedangkan teman-teman sendiri kalau pakai SKD dari bidan atau dokter yang lain, nggak diterima sama perusahaan, jadi kalau izin sakit, dipotong gaji," sambungnya.