"Isi Anjuran itu semuanya posisi pengusaha dan tidak sesuai UU," tambahnya.
Sarina mencotohkan, berdasarkan PP Pengupahan, formula upah harus ada kompetensi atau kinerja, tapi hal itu tidak ada dalam sistem pengupahan PT AFI.
"Sistem pengupahan di perusahaan terlalu mengutamakan golongan atau jabatan, itulah mengapa atasan-atasannya sewenang-wenang terhadap buruh," kata Sarinah.
Sarinah menambahkan, pekerja di PT AFI juga menjadi lebih memilih berlomba mencari jabatan daripada meningkatkan produktivitas secara sukarela.
"Seharusnya kan produktivitas ditingkatkan secara persuasif dengan formula upah yang menghitung kompetensi atau kinerja."
"Misal dari absensi tahun lalu, tapi ini tidak," ujarnya.
"Leader dikasih bonus kalau bisa memaksa menaikkan target, tapi pekerja operator tidak dapat apa-apa," sambung Sarinah.
Baca: Draft Omnibus Law Dianggap Sengsarakan Nasib Buruh
Sarinah menuturkan, saat ini pihaknya tengah mengadukan mediator ke Kemnaker dan Ombudsman.
"Kami sedang mengadukan mediatornya ke Kemnaker dan Ombudsman, minta mediator diberikan sanksi pemecatan," ungkapnya.
Sarinah kemudian kembali menekankan bahwa PT AFI menjalankan anjuran tersebut secara sepihak.
Hal ini, menurutnya, membuktikan tidak adanya kesepakatan.
Baca: Jubir Serikat Buruh Ungkap Seorang Pekerja Perempuan di AICE Tak Dapat Cuti Haid hingga Operasi
"Pengusaha langsung menjalankan anjuran cacat tersebut secara sepihak, yang membuktikan bahwa memang sudah tidak ada kesepakatan.
Kami ada putusan-putusan pengadilan yang dapat menunjukkan bahwa kalau sudah tidak ada perundingan tripartit atau mediasi artinya perundingan gagal.
Putusan ini kami pakai sebagai yurisprudensi," kata Sarinah.