Uchok menilai, dalam penentuan harga BBM, perlu mempertimbangkan berbagai aspek termasuk pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dollar. Memang, ada koreksi harga niai tukar dan juga penurunan harga minyak, tetapi harus tetap hati-hati dalam mengambil kebijakan harga BBM.
Ucok mengingatkan, saat ini lebih penting mendorong daya beli masyarakat tetap terjaga agar ekonomi lebih berputar, konsumsi rumah tangga tidak anjlok.
Caranya, menekan inflasi pangan lewat operasi pasar di daerah, juga memastikan pendapatan masyarakat terjaga.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR), Febby Tumiwa, menyebut bahwa saat ini BBM subsidi diberikan pada BBM jenis diesel (solar) dan minyak tanah. Di APBN 2020, besarnya Rp18,7 triliun. Yang besar adalah subsidi LPG 3 kg senilai Rp49,4 triliun.
"Subsidi ini memang perlu dipangkas secara bertahap dan dialihkan kepada sektor lain yang produktif, tetapi pengalihan tersebut harus memastikan bahwa masyarakat miskin tetap bisa mendapatkan energi dalam jumlah yang cukup dan berkualitas," ujar Febby.
Menurut data dari Kementerian Keuangan Indonesia, pada 2011 subsidi BBM mencapai Rp165,2 triliun, kemudian pada 2012 meningkat tajam menjadi Rp211,9 triliun. Pada tahun 2013 terjadi sedikit penurunan subsidi menjadi Rp 210 triliun, namun biaya ini meningkat kembali pada 2014 menjadi Rp240 triliun.
Data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menunjukkan bahwa bagian terbesar subsidi bahan bakar dinikmati oleh pemilik kendaraan roda empat (53%), dan bukan oleh pengendara motor (40%) dan angkutan umum (3%).
Bahkan, dalam laporan berjudul “Mengapa Mengurangi Subsidi Energi adalah kebijakan yang Matang, Adil, dan Transformatif bagi Indonesia?”, Chief Economist Bank Dunia di Indonesia, Ndiame Diop, mengungkapkan data yang mengejutkan bahwa Rp178 triliun subsidi bahan bakar dinikmati oleh kelas menengah atas, dan bukan masyarakat miskin yang betul-betul memerlukan.
Berita Ini Sudah Tayang di KONTAN, dengan judul: Kebijakan energi perlu terintegrasi agar defisit terjaga