TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerhati dan pelaku pariwisata Sanggam Hutapea, menegaskan penetapan Kaldera Toba sebagai UNESCO Global Geopark Baru dalam Sidang ke-209 Dewan Eksekutif UNESCO di Paris, Prancis, Selasa (2/7) lalu, harus dilhat sebagai tantangan dan peluang.
Pemerintah harus bekerja keras untuk memanfaatkan momentum itu untuk mengembangkan industri pariwisata kawasan Danau Toba, dengan pembangunanan berkelanjutan, serta pemberdayaan masyarakat.
Baca: Menko Luhut: Pandemi Covid-19 Bukan Halangan Pengembangan Wisata Super Prioritas Danau Toba
"Penetapan Kaldera Toba oleh Unesco itu harus diartikan sebagai tanggung jawab bagi Indonesia, khususnya bagi Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, Pemeritah di 7 Kabupaten di kawasan Danau Toba guna menjaga kelestarian lingkungan dan keutuhan dari Kawasan Kaldera Toba, serta mendorong pengembangan perekonomian masyarakat," ujar Sanggam Hutapea Minggu (12/7/2020) di Jakarta.
Menurut Sanggam, yang harus dilakukan setelah penetapan Kaldera Toba, pertama adalah konservasi, kedua bagaimana mengembangkan masyarakat di kawasan Danau Toba.
Dia menekankan tanpa adanya perkembangan di masyarakat , khususnya peningkatan ekonomi masyarakat, maka koservasi Danau Toba akan sulit terrealisasi. Jadi masyarakat harus sejahtera agar konservasi Danau Toba bisa optimal.
Selanjutnya, jelas Sanggam, bagaimana kemudian Pemerintah memanfaatkan momentum penetapan Kaldera Toba ini untuk lebih menarik perhatian dunia atas industri pariwisata di kawasan Danau Toba.
Kita tahu sejak tahun 1998 saat krisis ekonomi melanda dunia, hampir 20 tahun Pemerintah melupakan Danau Toba.
Sanggam pun mengakui Danau Toba itu baru dilihat pemerintah setelah Joko Widodo (Jokowi) jadi presiden.
Sebelum Jokowi jadi presiden, tambahnya Pemerintah relatif melupakan Danau Toba. Sebagai bukti Sanggam pun menuturkan ketika seluruh industri pariwisata runtuh karena krisis tahun 1998, beberapa kawasan di Indonesia dibantu pemerintah.
Contohnya Bali, ketika itu membangun infrastruktur yang luar biasa yakni pembangunan jalan tol diatas laut.
Sejak tahun 1998, sampai sebelum Jokowi Presiden, aku Sanggam, tidak ada satu infrastruktur di bangun di kawasan Danau Toba. Tetapi setelah penetapan Kaldera Toba ini, menurut Sanggam sekaranglah saatnnya Pemerintah Indonesia memberikan perhatian lebih ke Danau Toba sekalgus menarik lagi perhatian dunia . Artinya dimasukkannya Danau Ttoba menjadi Geopark oleh Unesco dunia sekarang sedang memberikan perhatian ke Danau Toba, tetapi itu saja tidak cukup, harus ada upaya Pemerintah Indonesia, khususnya Pemerintah Provinsi dan 7 pemerintah daerah di kawasan Danau Toba.
Sebagai pemerhati pariwisata, Sanggam Hutapea yang sudah mengunjungi berbagai daerah tujuan wisata dunia ini, mengakui banyak hal yang sebenarnya bisa diangkat dari keberadaan Danau Toba. Salah satu diantaranya, sejarah ilmiah pembentukan Danau Toba.
Diakuinya jika sejarah terjadinya Danau Toba dinarasikan dengan baik akan sangat menarik. Pasalnya Danau Toba itu terbentuk dari letusan gunung merapi raksasa bernama Gunung Toba sekitar 70 ribu tahun lalu.
Danau Toba ini bukan hanya menjadi salah satu danau terbesar di dunia, tetapi Danau Toba bisa jadi merupakan danau terbesar yang lahir karena letusan gunung api.
Danau Toba yang terbentuk akibat letusan gunung merapi, adalah warisan dunia. Kenapa disebut warisan dunia? Karena menurut penelitian ilmiah ketika Gunung Toba meletus, dua pertiga penduduk bumi ini musnah.
"Itu penelitian ilmiah, bahkan bisa jadi sejarah DNA ditentukan letusan Gunung Toba ini. Ketika Danau Toba terbentuk, artinya ada rantai DNA yang terputus. Sejarah terbentuknya Danau Toba sudah begitu dahsyat kalau dibikin narasinya. Jadi Danau Toba jangan hanya dilihat sebagai danau yang indah, tapi sejarah pembentukannya juga sangat dahsyat, baik secara ilmiah maupun secara geologis," tukas Sanggam Hutapea.
Danau Toba ini harus dikonservasi, kalau kita bicara konservasi, lanjut Sanggam, maka kita bicara juga pendukung-pendukung Danau Toba, seperti keadaan hutan, keanekaragaman hayati kesejahteraan penduduk lokal, termasuk ritual dan nilai budaya di kawasan Danau Toba yang harus dikonversasi.
Dari sisi masyarakat, penduduk lokal, Sanggam berpendapat penetapan Unesco ini harus dilihat sebagai peluang, yakni peluang hidup untuk lebih sejahtera.
Untuk mendapat peluang itu, menurut Sanggam, masyarakat lokal harus difasilitasi pemerintah daerah, terutama jika dikaitkan dengan perkembangan industri pariwisata di Danau Toba. Jika Pemerintah tidak memfasilitas masyarakat, tentu masyarakat akan susah menangkap peluang itu.
Perlu diketahui, tambah Sanggam Hutapea, infrastruktur ke kawasan Danau Toba dari berbagai daerah seperti, Binjai, Medan, Rantau Parapat, Tebing Tinggi, dan daerah lain akan selesai paling lambat Tahun 2023.
Ketika infrastruktur itu selesai, Sanggam menyakini arus wisatawan lokal ke Danau Toba akan besar sekali. Pasalnya jarak tempuh ke kawasan Danau Toba sudah semakin dekat.
Selama ini, akibat belum adanya infrastruktur, lanjut Sanggam, yang dikenal sebagai daerah wisata berakhir pekan bukan Danau Toba, tetapi Brastagi. Maka dengan selesainya infrastruktur itu nanti akan menjadikan Danau Toba sebagai kawasan wisata berakhir pekan, sebab jarak tempuhnya sudah dekat dan terjangkau.
Menurut Sanggam, membantu masyarakat sekitar kawasan Danau Toba tidak perlu memberikan uang, tetapi bagaimana Pemerintah Daerah menggandeng BUMN-BUMN atau perusahaan-perusahaan besar untuk membenahi lokasi wisata, sepert pembangunan toilet, toko souvenir, tempat parkir, mengemas produk produk lokal, dan pengadaan tempat kuliner.
" Jika Pemerintah daerah pro aktif merangkul BUMN-BUMN saya kira hal ini bukanlah hal yang susah. Perlu diingat bahwa membangun pariwisata, pemerintah daerah harus proaktif. Pemerintah harus lebih kreatif karena salah satu kunci keberhasilan pariwisata adalah krertivitas, termasuk begaimana mereka kreatif mengemas produk produk lokal," tegas Sanggam Hutapea.
Salah satu contoh kreatif yang diutarakan Sanggam Hutapaea, yakni bagaimana mengemas narasi untuk mengkisahkan Tugu-tugu Marga yang ada di Tapanuli menjadi obyek wisata menarik bagi wisatawan.
Tugu-tugu marga itu harus dinarasikan sebab kalau hanya sekedar tugu tidak tertarik orang. Bayangkan bagaimana orang akan tertarik jika dinarasikan bahwa tugu marga itu sebagai catatan-catatan, dimana dengan keberadaan Tugu itu maka satu marga Batak akan mengetahui silsilahnya hingga 17 generasi.
Tak banyak suku di dunia ini yang punya catatan silsilah hingga 17 genarasi. Ini yang harus dinarasikan, harus dijelaskan sehingga menarik bagi wisatawan untuk mengetahui.
Terkait sisi promosi Danau Toba, Sanggam Hutapea mengingatkan bahwa sudah hampir 20 tahun Danau Toba tidak pernah lagi diperhatikan Pemerintah sebelum Presiden Jokowi. Maka, sebenarnya sudah 20 tahun agenda pariwisata dunia melupakan Danau Toba.
Menurut Sanggam Hutapea diperlukan terobosan-terobosan untuk mengenalkan pariwisata Danau Toba ke pasar-pasar potensial. Sekarang pasar potensial untuk wisatawan ada di Asia sampai ke Cina dan, bukan lagi Eropa.
Sementara untuk di lokal, mengenalkan Danau Toba, Sanggam Hutapea mendesak adanya berbagai terobosan dengan membuat kegiatan yang mampu menarik perhatian masyarakat Indonesia bahkan Asia, contoh mengundang komunitas Ferrari untuk tourning ke Danau Toba, atau menggelar konser bertaraf nasional.
Baca: Bamsoet: Pengelolaan Kawasan Danau Toba Harus Jadi Prioritas
Terobosan seperti ini harus dilakukan dan jangan lagi membuat terobosan konvensional.
Sanggam secara tegas meminta kegiatan konvensional dievaluasi atau bahkan dihentikan. Dia pun mencontohkan pelaksanaan Festival Danau Toba, yang sudah digelar bertahun-tahun dan terbukti tidak mampu menarik wisata ke Danau Toba. Apalagi Festival Danau Toba itu terkesan hanya seremonial.