Menurut Bhima, di undang-undang sebelumnya itu hanya mempermudah pemanfaatan informasi dan pembiayaan, kalau di UU Cipta Kerja disebutkan secara spesifik terkait dengan penelitian dan pengembangan.
Tetapi yang menjadi pertanyaan, selama ini tidak ada aturan berbentuk undang-undang untuk memudahkan UMKM mendapatkan penelitian dan pengembangan produknya, serta akses pasar yang lebih baik.
"Yang jadi permasalahan, selama ini banyak UMKM yang kebingungan. Pertama untuk hal-hal yang sangat mendasar, misalnya kalau ada UMKM yang berada di Jakarta mau mengirimkan barang ke Semarang. Tapi mereka ngga tau bagaimana tren yang ada di Semarang, kemudian bagaimana pola konsumsinya, bagaimana cara mengembangkan produknya, kemasannya segala macam. Sebagian besar penelitian dan pengembangan ini masih sulit untuk diakses oleh UMKM. Sementara yang dilakukan pemerintah masih sebatas pendampingan yang itu sifatnya sangat teknis belum sampai ke penelitian-penelitian yang lebih serius," jelasnya.
Lebih lanjut ia menyampaikan, kalau pun ada penelitian tentang pengembangan UMKM, lebih ke penelitian yang sifatnya ke makro, seperti jumlah UMKM, jumlah tenaga kerjanya, berapa yang masuk ke dalam skala mikro, ultra mikro, mana yang masuk dalam skala kecil, menengah.
Tetapi belum ada secara spesifik semacam pusat data penelitian UMKM yang itu bisa diakses secara luas oleh seluruh pelaku UMKM yang jumlahnya sekitar 50 juta - 60 juta.
Kemudian ada lagi terkait bantuan penelitian dan pengembangan dalam Undang-undang Cipta Kerja, wajib memberikan fasilitas untuk digitalisasi, yang artinya ada sarana bagi UMKM untuk dibantu digitalisasinya.
Akan tetapi tidak dijelaskan secara spesifik dalam undang-undang, sehingga belum diketahui bagaimana spesifiknya.
"Bagaimana peraturan turunannya terkait bantuan digitalisasi karena tidak disebutkan. Misalnya bagaimana menyelesaikan masalah akses internet yang lebih merata, kemudian biaya logistik yang masih 23,5 persen dari PDB. Ini apakah dibantu dan pemerintah, seperti berkomitmen menurunkan biaya logistik. Ini tidak disebutkan secara detail," ungkap Bhima.
Bhima juga menyoroti pengembangan Sumber Daya Manusia dalam mendukung riset dan inovasi.
Ia melihat ekosistem digital, khususnya startup yang ada di Indonesia kebanyakan penanam modalnya terafiliasi oleh modal asing.
Ketika modalnya berasal dari pihak asing, produk-produknya pun akan didominasi oleh barang-barang impor.
Menurut Ekonom Indef ini, di dalam Undang-undang Cipta Kerja ternyata ditambahkan juga liberalisasi dari ekosistem digital, pada pasal 42 ayat 3.
Tenaga Kerja asing khususnya yang di bidang startup boleh di datangkan tanpa menggunakan izin.
Hal ini akan berdampak pada Sumber Daya Manusia (SDM) atau peneliti yang ada di Indonesia, mereka yang masuk ke dalam startup ini pastinya sedikit-sedikit akan digantikan oleh tenaga kerja asing dengan berbagai alasan.