Pemegang saham lama nantinya akan diwajibkan untuk membayar minimal 20 persen dari total biaya penyelamatan.
Sisanya, akan ditanggung oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
Jika bank gagal sistemik ataupun non sistemik tersebut harus dilikuidasi, hasil dari likuidasi tersebut diprioritaskan terlebih dahulu untuk membayar gaji serta pesangon, segala macam biaya operasional, dan juga mengganti biaya yang telah dikeluarkan oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
Jika hasil likuidasi tersebut tidak mencukupi, alhasil dana-dana tersebut akan ditanggung oleh pemegang samah lama bank gagal sistemik ataupun non sistemik tersebut.
Kehadiran Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dalam menangani bank gagal sistemik ataupun non sistemik masih belum membebaskan beban pemerintah.
Sebab, jika modal, cadangan, surplus usaha, serta akumulasi premi tidaklah mencukupi, kekurangan tersebut tetap akan ditanggung oleh pemerintah.
Alhasil, penangan bank gagal yang paling tepat menurut Krisna Wijaya adalah menjaga setiap bank yang beroperasi di Indonesia agar selalu sehat.
Sehat atau tidaknya sebuah bank tidak bergantung ke pengawasan, melainkan kembali kepada pihak pengelola dan pemilik dari bank tersebut.
Harus ada pendekatan yang komperhensif untuk menumbuh kembangkan perbankan yang kuat dan sehat di indonesia.
Menurut Krisna Wijaya, BI harus tetap fokus dalam mengelola regulator sekaligus menoter.
Sedangkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berfokus kepada pengawasan dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menangain bank yang gagal.
Dengan begitu, akan terciptanya sebuah segitiga pengaman untuk perbankan di Indonesia yang terukur dan terstruktur.(*)