Secara garis besar, penyederhanaan dan kemudahan di sektor pertanian yang telah diakomodir dalam UU Cipta Kerja dan tertuang dalam RPP, antara lain: (1) Kemudahan perizinan berusaha pada budidaya pertanian skala tertentu; (2) Penyederhanaan dalam pertimbangan penetapan batasan luas lahan untuk usaha perkebunan; (3) Penyederhanaan administrasi untuk Permohonan Hak Perlindungan Varietas Tanaman; (4) Pengaturan pola Kemitraan Hortikultura untuk kemudahan berusaha; (5) Penetapan Kawasan Lahan Pengembalaan Umum dapat dilakukan oleh Pemerintah Pusat; (6) Simplifikasi izin ekspor-impor benih/bibit/tanaman/hewan untuk kemudahan berusaha; dan (7) Kemudahan akses Sistem Informasi Pertanian oleh masyarakat dan pelaku usaha.
Sedangkan, penyederhanaan dan kemudahan di sektor kelautan dan perikanan yang telah diakomodir dalam UU Cipta Kerja dan tertuang dalam RPP, antara lain: (1) Jenis perizinan untuk kapal penangkapan ikan yang semula 16 jenis disederhanakan menjadi hanya 3 jenis izin; (2) Proses perizinan sesuai ketentuan lama yang membutuhkan waktu sekitar 14 hari telah dipersingkat hingga dapat diselesaikan hanya dalam 60 menit; (3) Relaksasi penggunaan alat tangkap ikan pukat dan cantrang untuk wilayah perairan tertentu; (4) Penyederhanaan izin untuk tambak udang dari semula 24 jenis perizinan menjadi 1 perizinan.
Kemudian, (5) Proses Sertifikasi Kelayakan Pengolahan (SKP) dipersingkat waktunya dari semula 7 hari menjadi 2 hari dan dilakukan secara online; (6) Pengalihan kewenangan pembinaan pelaku usaha pemasaran/perdagangan komoditas perikanan dari Kementerian Perdagangan (Kemendag) kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP); (7) Proses sertifikasi Hazard Analysis and Critical Control Points (HACCP) yang semula 56 hari dipersingkat menjadi 10 hari dan dilakukan secara online; (8) Pemberian kemudahan sertifikasi bagi pelaku usaha yang akan melakukan ekspor komoditas perikanan; dan (9) Penerbitan rekomendasi impor komoditas perikanan diintegrasikan dalam sistem Online Single Submission (OSS).
Penyusunan peraturan pelaksanaan UU Cipta Kerja yang baik dan implementatif, ungkap Musdhalifah, tentu memerlukan koordinasi dan sinergi yang baik antara pemerintah dengan seluruh stakeholder. “Semoga acara kali ini menghasilkan masukan konstruktif dalam penyusunan peraturan pelaksanaan UU Cipta Kerja pada sektor pertanian serta sektor kelautan dan perikanan,” katanya.
Sektor Lingkungan Hidup, Kehutanan, dan Energi Sumber Daya Mineral
Pada sesi yang lain, Deputi Bidang Koordinasi Pengembangan Usaha BUMN, Riset, dan Inovasi Kemenko Perekonomian Montty Girianna dalam sambutannya menjelaskan, kegiatan usaha yang memanfaatkan sumber daya alam (SDA) skala besar, seperti pertambangan mineral dan batubara (minerba), pengeboran minyak dan gas (migas), akan menimbulkan dampak besar dalam pelaksanaannya, misalnya terhadap kesehatan, keselamatan, lingkungan, maupun kepentingan umum.
“Oleh sebab itu, pengusaha yang bergerak di bidang pengembangan (SDA) ini, wajib mendapatkan perizinan berusaha, sebagai syarat dilaksanakannya kegiatan usaha. Sebab, perizinan berusaha hanya diterapkan kepada kegiatan usaha berisiko tinggi, baik dilihat dari segi kesehatan, keselamatan, lingkungan, maupun kepentingan umum,” jelasnya.
Untuk kegiatan usaha yang memang tidak berdampak besar, UU Cipta Kerja mengutamakan diberlakukannya pengawasan yang ketat atas pelaksanaan Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria (NSPK) dari satu kegiatan usaha. Dalam pelaksanaannya, pemerintah akan memastikan bahwa kegiatan usaha tersebut memenuhi NSPK yang telah ditetapkan.
Dari sektor pertambangan dan energi, UU Cipta Kerja menyempurnakan UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, UU No. 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi, dan UU No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan. Kemudian, telah disusun satu RPP yang mengatur tentang kegiatan usaha pada keempat bidang tersebut.
Bagi pelaku usaha yang melakukan peningkatan nilai tambah batubara, diberikan insentif berupa pengenaan royalti batubara hingga sebesar nol persen (0%). Royalti sebesar nol persen ini diterapkan atas jumlah/tonase batubara yang digunakan di dalam negeri untuk keperluan peningkatan nilai tambah. Insentif itu ditujukan untuk meningkatkan appetite pengusaha dalam berinvestasi dan mengakuisisi teknologi tinggi.
“Lalu, kemudahan juga diberikan untuk pengusaha yang bergerak di bidang telekomunikasi, multimedia, dan informatika dalam memanfaatkan jaringan listrik. Mereka tidak perlu lagi mendapatkan izin pemanfaatan jaringan untuk melakukan kegiatan usahanya, cukup dengan mendaftarkan NIB-nya dan mendapat persetujuan dari pemilik jaringan,” ujarnya mencontohkan.
Dalam bidang Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), UU yang disempurnakan adalah UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dan UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.
Selanjutnya, ada tiga RPP yang sedang disusun, yakni tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, tata kelola kehutanan, dan tata cara pengenaan sanksi administratif dan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) atas kegiatan usaha yang telah dibangun di dalam kawasan hutan.
“UU Cipta Kerja juga mengamanatkan bahwa penyusunan dan penilaian AMDAL diintegrasikan ke dalam proses perizinan berusaha. Kita tidak lagi mengenal izin lingkungan, yang selama ini diterapkan secara terpisah dari izin usaha,” tuturnya.