News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tarif Cukai Rokok Naik Lagi 12,5 Persen, Begini Alasan Sri Mulyani dan Reaksi YLKI 

Penulis: Yanuar R Yovanda
Editor: Choirul Arifin
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Sejumlah petani tembakau melakukan aksi unjuk rasa dengan memajang beberapa tuntutan dalam poster di Kawasan Patung Kuda, Jakarta Pusat, Senin (16/11/2020). Para petani tembakau yang tergabung dalam Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) menolak rencana pemerintah yang akan menaikkan cukai rokok pada 2021. Pasalnya, kenaikan cukai sebesar 23% yang berlaku tahun ini saja sudah sangat menyengsarakan petani. Menurutnya jika cukai roko dinaikan akan berdampak buruk pada kesejahteraan petani, ujar salah satu orator. Warta Kota/Angga Bhagya Nugraha

Sekretaris Harian YLKI Agus Suyatno mengatakan, pihaknya mengapresiasi kenaikan cukai rokok hingga 12,5 persen pada 2021, karena menilik dari tingkat inflasi ditambah dengan kondisi ekonomi tahun 2020.

"Tetapi kebijakan ini perlu dikawal agar efektif dalam menurunkan konsumsi rokok. Karena angka 12,5 persen adalah rata-rata, maka perhatian perlu difokuskan pada jenis rokok mana yang tarif cukainya naik paling tinggi," ucap Agus saat dihubungi Tribunnews, Kamis (10/12/2020).

Menurutnya, YLKI mengharapkan agar angka kenaikan lebih tinggi minimal sama dengan tahun kemarin di angka 23 persen rerata tarif cukai dan angka 35 persen kenaikan harga jual eceran (HJE).

"Agar tujuan pengendalian konsumsi rokok dan peningkatan penerimaan negara efektif, maka kenaikan tertinggi cukai rokok harus dikenakan kepada jenis rokok yang memiliki pangsa pasar terbesar," ucap Agus.

Ia menyebutkan, pangsa pasar terbesar sendiri yaitu sigaret kretek mesin (SKM) khususnya golongan 1 dengan produksi diatas 3 milyar batang per tahun.

"Pangsa pasar SKM 1 mencapai 63 persen dan jika pemerintah ingin menurunkan konsumsi rokok di kalangan anak-anak, Maka harus menaikkan tarif cukai dan harga eceran produk tersebut," ujar Agus.

Di masa lalu, lanjut Agus, kenaikan cukai tertinggi tidak pada SKM 1.

Setelah kretek mesin, sigaret putih mesin juga harus dinaikkan tarif cukainya dengan sama tingginya karena mereka menggunakan mesin yang capital intensive, tidak labor intensive.

"Sedangkan untuk Sigaret Kretek tangan yang labor intensif, menjadi wajar diberikan kenaikan tarif cukai yang lebih rendah," kata Agus.

Petani tembakau memperlihatkan daun tembakau yang siap panen dari kebun mereka di Desa Sukawangi, Kecamatan Pamulihan, Kabupaten Sumedang, Rabu (21/10/2020). (TRIBUN JABAR/Zelphi)

Sebagai catatan, Agus mengungkapkan, bahwa harga rokok per bungkus saat ini antara Rp 10 ribu sampai Rp 25 ribu. Harga ini masih jauh dari harga yang bisa mengendalikan konsumsi para perokok.

"Merujuk pada survei dari PKJS Universitas Indonesia, bahwa harga yang dapat menurunkan konsumsi rokok adalah Rp 60 ribu-Rp 70 ribu per bungkus," kata Agus.

Agus juga menjelaskan, dengan kenaikan 12,5 persen kemungkinan harga termahal satu bungkus rokok berkisar Rp 35 ribu dan ini masih setengah dari harga yang menurunkan konsumsi.

"Kami berharap pemerintah fokus pada harga rokok SKM 1 agar mendekati Rp 60 ribu per bungkus. Kami yakin Presiden Jokowi melindungi anak-anak dari terkaman industri rokok," ucap Agus.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini