Laporan Wartawan Tribunnews, Larasati Dyah Utami
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Industri perunggasan nasional melibatkan 13 juta tenaga kerja dengan perputaran uang sebesar Rp 600 triliun.
Ketua Umum Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat (Pinsar) Singgih Januratmoko, mengatakan sejak kwartal keempat 2018 hingga Oktober 2020, para peternak menjerit karena terus menerus mengalami kerugian besar.
“Penyebabnya karena impor berlebih, dan rekor harga terburuk terjadi pada maret 2020 akibat over suplay dan Covid-19,” ujar Singgih, yang juga anggota Komisi VI DPR RI, Kamis (17/12/2020)
Dalam webinar yang diselenggarakan Kementerian Pertanian dan Harian Kompas terungkap saat itu harga ayam hanya Rp5.000 per kilogram.
Suplai yang berlebih di pasar, mengakibatkan harga ayam peternak lebih rendah dari Harga Pokok Penjualan (HPP) dan harga referensi dari Kementerian Perdagangan antara Rp19.000 hingga Rp21.000.
“Akibat rendahnya harga pasar di bawah HPP, banyak peternak yang mengambil kredit usaha mengalami kemacetan,” imbuh Singgih.
Modal peternak lokal tergerus, sehingga para peternak rakyat harus menutup kandang-kandang mereka.
Baca juga: Indef Sarankan Pemerintah Buat Peta Jalan Industri Perunggasan
Masalah-masalah lain yang terjadi, antara lain ketersediaan dan harga sarana produksi peternakan (sapronak) yang meningkat.
Peternak juga merasakan naiknya harga pakan, yang disebabkan kenaikan harga bahan baku pakan ternak (SBM).
Kemudian diikuti dengan menurunnya permintaan dari industri hotel, restoran, dan kafe (Horeka) akibat pandemi Covid-19.
Ancaman berikutnya yang bakal terjadi pada 2021 adalah terganggunya supply dan demand.
Hal tersebut terjadi karena jumlah Grand Parent Stock (GPS), yang diimpor pada tahun 2019 sebanyak 735.500 ekor.
“Bandingkan dengan impor GPS pada tahun 2018, yang mencapai 743.827 ekor. Artinya terdapat kekurangan indukan,” ujar Singgih.