TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Siapa tidak kenal Edwin Soeryadjaya. Sosoknya kini menjadi salah satu pengusaha sukses Tanah Air. Edwin Soeryadjaya tak lain adalah pendiri perusahaan investasi Saratoga Capital, yang dia besarkan bersama Sandiaga Uno dan kini berganti nama menjadi Saratoga Investama.
Saat ini Edwin Soeryadjaya menjadi komisaris utama perusahaan tambang batubara besar, Adaro Energy Tbk.
Sukses yang Edwin raih tidaklah mudah. Anak laki-laki dari William Soeryadjaya, pendiri PT Astra International Inc (ekarang berubah menjadi PT Astra International Tbk pasca go public) ini mengaku pernah kebingungan bagaimana harus menghidupi anak-istrinya.
Kondisi itu dialami Edwin dan keluarganya selama kurang lebih tujuh bulan.
Masa sulit itu bermula saat ayah Edwin, William Soeryadjaya, resmi melepas 100 juta lembar saham Astra untuk membantu ‘krisis’ yang dihadapi Bank Summa yang dimiliki Edward Soeryadjaya, saudara kandung Edwin.
Baca juga: Berawal dari Bisnis Online Shop, Liestiani Anisa Kini Sukses Tekuni Usaha Endorse Artis
Bank Summa harus menyelesaikan kewajiban kepada nasabah setelah mengalami likuidasi.
Kisah ini dibagikan Edwin Soeryadjaya saat berbicara dalam webinar bertajuk 'Indonesia Economic Ideation' yang digelar Tribun Network, Harian Surya dan Habitat for Humanity Indonesia, Kamis (28/1/2021) malam.
Baca juga: Sukses Garap Pasar Ekspor, Panca Mitra Rintis Produk Udang Olahan untuk Pasar Lokal
"Setelah melepaskan Astra, sempat saya enam atau tujuh bulan itu tidak tahu bagaimana mau menghidupi anak-anak saya," ungkap Edwin.
Pada masa sulit setelah kehilangan Astra, Edwin bersama ayahnya harus menanggung beban hutang yang dimiliki Bank Summa. Pada masa sulit itu, Edwin seolah tiba-tiba kehilangan orang-orang terdekatnya.
Baca juga: Kisah Driver Ojol Nyasar ke Kuburan karena Ikuti Petunjuk Peta, Akui Sudah Sering Mengalami
Saudara jadi seolah tidak kenal, hingga kawan-kawan dekat yang seakan berubah jadi musuh."Ibaratnya begini, saudara jadi engga kenal, kawan bagaimana akrabnya pun bisa menjadi musuh, jangankan itu, bayangan saya sendiri pun lari," ujar Edwin.
Edwin bersama ayahnya mau melunasi hutang Bank Summa untuk menjaga nama baik keluarga Soeryadjaya.
Nama baik keluarga, kata Edwin, harus dijaga dengan tanggung jawab.
"Salah satu modal utama yang saya warisi dari ayah saya itu nama baik. Kita tidak pernah menipu orang, waktu kesulitan setelah jual Astra pun masih banyak hutang-hutang yang belum bisa terbayar," sambung dia.
Saat melepas Astra karena Bank Summa mengalami likuidasi, sang ayah, William Soeryadjaya, sama sekali tidak marah pada Edward.
Ayah Edwin adalah sosok yang tidak pernah berlaku kasar kepada anak-anaknya.
"Mungkin ayah saya itu salah satu yang bisa dihitung dengan jari yang di Indonesia itu tidak pernah 'ngemplang,'" tutur Edwin.
Kondisi-kondisi sulit setelah melepas Astra itu dijalani keluarga Soeryadjaya dengan penuh kerja keras dan ketabahan. Bersama ayahnya, Edwin tidak pernah menyerah pada keadaan sulit yang dihadapi.
Mereka saat itu justru terus berikhtiar mengembangkan potensi-potensi yang ada.
"Yang utama waktu itu saya lihat anak-anak saya masih kecil, jadi saya harus menghidupi merek. Saya putar otak, putar otak," kata Edwin.
Banyak usaha-usaha yang pada masa sulit itu justru kembali ditekuni Edwin. Saat berusaha untuk bangkit, Edwin mendengar kabar bahwa PT Telkomsel akan mendapat kontrak dengan swasta untuk melakukan pembangunan.
Kebetulan, pada saat masih di Astra, Edwin pernah mengayomi PT Telkomsel. "Memang segala sesuatu itu bukan kebetulan ya," ujar Edwin.
"Saya mengetahui bahwa Telkom itu akan diberi privatisasi karena permintaan dari World Bank dan IMF," kata Edwin.
Saat itu dimulai program kerjasama operasi (KSO) untuk mengembangkan perekonomian Indonesia.
Pemerintah kala itu melihat tidak bisa korporasi hanya depending on fund domestic. "Jadi harus ada juga dari swasta dan juga dari luar negeri," kata Edwin singkat.
"Waktu itu Telkom di bawah pengawasan World Bank melakukan investasi, saya walaupun tidak punya kemampuan, saya mengetahui bahwa ini mestinya sangat menguntungkan," ujar Edwin.
Edwin bergegas mencari mitra dari luar negeri untuk menggarap tender PT Telkomsel. Sedikitnya ada sekitar 50 perusahaan yang ingin ikut tender tersebut.
Namun, tahun 1998, kondisi perekonomian Indonesia mengalami krisis. Dari pengamatan Edwin, setiap krisis ekonomi terjadi, akan ada banyak perusahaan-perusahaan besar yang tumbang.
"Waktu saya berusaha, kembali ke 1998, saat itu ada krisis Asia, financial crisis, waktu mulai kejadian, saya bilang waduh, biasanya kalau ada krisis itu, banyak perusahaan yang akan tumbang," kata Edwin.
Edwin dan William Soeryadjaya yang kehilangan Astra pada 1993, justru melihat ada potensi besar di tengah situasi krisis moneter 1998.
Bersama Sandiaga Uno, pada tahun 1998 Edwin mendirikan Saratoga Capital, perusahaan investasi terkemuka di Indonesia yang berkonsentrasi dalam bidang sumber daya alam dan infrastuktur.
"Berdasarkan pengalaman itu, saya tahu bakal banyak kesempatan di bidang ekonomi," kata Edwin.
Edwin mengungkapkan, kesuksesannya mendirikan PT Saratoga Investama Sedaya Tbk berkat nama baik yang selama ini dijaganya penuh tanggung jawab.
"Kembali, karena reputasi yang baik waktu saya melunasi hutang-hutang yang bukan ulah kita, tapi keluarga yang mengambil alihnya, saya bisa dapat kepercayaan dari kreditur," kata Edwin.
Hingga akhirnya semua hutang yang disebabkan Bank Summa mampu dilunasi keluarga Soeryadjaya pada tahun 2001. Menurut Edwin, melunasi semua hutang itu menjadi titik balik kesuksesan yang digapai hingga saat ini.
Setelah melunasi seluruh hutang Bank Summa, banyak orang yang berani berinvestasi kepada Edwin.
"Bermodalkan (pengalaman) itu, banyak orang yang mau nitip uang ke saya karena mereka pikir, kehilangan Astra masih bisa hidup dan bayar semua hutangnya. Jadi pekerjaan saya itu fund manager, saya mengelola uang orang," ucap Edwin.
Edwin mengungkapkan, saat ini dirinya memiliki kurang lebih 29 usaha. Dari 29 usaha yang dilakukan Edwin, hanya dua yang gagal.
"Yang 27 itu semuanya berhasil, malahan ada yang sangat berlebihan keuntungannya. Sayangnya orang lain yang menerima lebih banyak untung itu, saya hanya menerima sisanya saja (tertawa)," ucap Edwin.
Edwin Soeryadjaya kini menjabat sebagai Presiden Komisaris PT Adaro Energy Tbk yang berdiri sejak 2004 dengan nama PT Padang Kurnia.
Saat ini Adaro Energy merupakan perusahaan produksi batu bara termal terbesar kedua di Indonesia, dan penyuplai penting pasar batu bara termal global.
Edwin juga menjabat Chairman of PT. Saratoga Investama Sedaya Tbk serta menjadi Ketua Yayasan Universitas Kristen Indonesia, yayasan yang menaungi Universitas Kristen Indonesia (UKI). (tribun network/genik)