Dana bank adalah napas nomor satu mereka. Maka ketika perusahaan sudah tidak bisa lagi pinjam dana bank -karena sudah mencapai batas atas-- bencana tahap 1 pun datang. Katebelece dari dewa pun tidak akan ditakuti bank.
Ketika bencana tahap 1 itu datang, harapan tinggal pada obligasi, MTM dan sejenisnya. Tapi pemilik dana obligasi pun tahu: mana perusahaan yang masih bisa cari pinjaman bank dan mana yang sudah mentok.
Di sini pemilik dana obligasi bisa memainkan bunga. Dana bisa saja tetap
tersedia -asal bunganya tinggi.
Tahap 2 itu pun ada batasnya: sampai obligasi itu jatuh tempo. Begitu perusahaan terbukti gagal bayar obligasi pilihannya tinggal pada satu lubang: menerbitkan obligasi baru dengan bunga lebih tinggi lagi.
Perkiraan saya, merosotnya kinerja keuangan mereka sebagian besar akibat kemakan bunga tinggi.
Sebenarnya masih ada jalan lain: right issue di pasar modal --menambah jumlah saham yang dijual ke publik. Tapi BUMN punya batasan: tidak boleh menjual saham ke publik melebihi 50 persen --takut mayoritasnya jatuh ke asing.
Rasanya semua BUMN infrastruktur kini sudah mentok di limit itu. Dengan demikian right issue bukan termasuk pilihan lagi.
Sebenarnya masih ada sumber dana lain. Murah sekali. Tapi dana itu justru sudah lebih dulu dipakai: yakni dana dari sub kontraktor. Inilah sumber dana tersembunyi yang penting sekali.
Jarang yang menyadari ini: ketika sub- kontraktor tidak kunjung dibayar maka sebenarnya mereka itulah sumber dana terdepan BUMN infrastruktur.
Dan mereka itulah yang kini lebih menjerit dari BUMN itu sendiri. Itu karena sub kontraktor adalah perusahaan yang modalnya lebih kecil.
Dan lagi, sub kontraktor itu juga mengambil materialnya dari perusahaan yang lebih kecil lagi. Ujung-ujungnya yang paling kecil itulah yang paling menderita. Mungkin saja BUMN-BUMN itu tidak merasa menderita.
Di BUMN yang seperti itu tidak terlalu dipikirkan oleh komisaris dan direksinya. Toh perusahaan itu bukan milik direksi dan komisarisnya.
Bahkan mungkin jabatan direksi dan komisaris di sana masih jadi rebutan.
Ini berbeda dengan di swasta. Yang kondisi seperti itu sudah membuat direksinya tidak bisa tidur.
Memang masih tetap ada jalan keluar di BUMN infrastruktur itu: Waskita Karya misalnya, bisa jual jalan tol miliknya. Kalau itu dilakukan langsung kerugian itu berubah menjadi laba.