Laporan Wartawan Tribunnews.com, Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sedang menyiapkan PT Pertamina International Shipping (PIS), yang merupakan subholding Pertamina (Persero) di bidang marine dan logistics terintegrasi, untuk melakukan penawaran umum saham perdana (initial public offering/IPO) tahun ini.
Aksi korporasi ini diharapkan semakin memperkuat posisi PIS di industri energi dan marine logistics di Tanah Air.
Pakar Kemaritiman Institut Teknologi 10 November Surabaya Raja Oloan Saut Gurning, menilai positif dukungan Kementerian BUMN agar segera IPO.
Apalagi bisnis maritim secara prinsip adalah klaster bisnis yang mensyaratkan kondisi usaha dengan lingkungan yang terbuka dan global, termasuk dalam bisnis pelayaran khususnya usaha pelayaran minyak dan gas (migas).
"Dalam bisnis ini, baik operator kapal, penyewa, unit manajemen kapal, awak kapal, galangan kapal dan manajemen kepemilikan kapal atau operasi pelayaran dapat dilakukan dengan berbagai pola yang melibatkan banyak pihak yang memiliki kompetensinya masing-masing," ujarnya, Jumat (21/5/2021).
Baca juga: Pertamina Shipping Siap Amankan Distribusi Energi Selama dan Pasca Lebaran
Menurut Saut, usaha kolaborasi tersebut dalam banyak kasus empiris membawa tingkat efisiensi usaha dari jasa pelayaran itu termasuk jasa pelayaran migas. Dengan demikian, rencana aksi korporasi PIS yang akan melakukan IPO pada tahun ini merupakan upaya untuk menjadikan biaya angkutan minyak mentah dan gas nasional menjadi efisien.
Baca juga: Erick Thohir: Peresmian Subholding Shipping Wujudkan Mimpi SIP Jadi Global Player
“Ini adalah pola praktis dan dilakukan banyak entitas global,” katanya, Kamis (20/5/2021).
Sebelumnya, saat meresmikan PIS sebagai suholding shipping pada awal Mei lalu, Menteri BUMN Erick Thohir mengungkapkan PIS diharapkan dapat meningkatkan kinerjanya dengan juga bertransformasi menjadi perusahaan yang mengintegrasikan kegiatan shipping dan marine logistics.
Dengan demikian, diharapkan bisa bersaing di kancah global sesuai dengan visinya.
Wakil Menteri BUMN I Pahala N Mansury mengatakan, dengan melakukan transformasi bisnis, valuasi PIS di pasar saham bisa meningkat dan mengerek nilai jual. Bahkan, Pahala berharap dengan adanya transformasi dan diikuti IPO, nilai perusahaan bisa meningkat hingga 10 kali lipat.
Saut menjelaskan, karena kepemilikan utama dari PIS adalah Pertamina atau secara tidak langsung adalah negara, logis jika opsi melalui IPO tersebut untuk sebesar-besarnya memberikan manfaat langsung bagi negara dan masyarakat Indonesia.
“Tidak hanya pengoperasian dan biaya logistik migas internasional kita yang lebih murah, dan juga berbagai manfaat turunan lainnya baik dampak tidak langsung kepada berbagai usaha terkait, pembukaan lapangan kerja dan pajak kepada negara,” ujar peraih gelar PhD bidang maritime logistics dari Australian Maritime College (AMC) Univ. of Tasmania, Australia itu.
Dia mengakui bahwa mendapatkan kombinasi keuntungan melalui efisiensi versus manfaat yang diharapkan memang tidak mudah. Pasalnya, industri maritim di Tanah Air lemah untuk orientasi luar negeri karena berbagai arus jasa bisnis maritim di dalam negeri faktanya tetap didominasi pemain asing.
Hal tersebut, ujar dia, mungkin karena fokus para pemain di industry maritime masih ke dalam negeri yang kuenya memang cukup besar, sehingga merasa lebih nyaman dengan pangsa pasar yang pasti ini (captive-market).
“Atau kemungkinan kita memang kurang membangun kekuatan untuk orientasi luar negeri itu. Termasuk untuk urusan pengangkutan impor migas,” katanya.
Padahal, kata dia, dengan kepemilikan kapal-kapal besar dalam jumlah banyak tentu akan mendukung dalam memenuhi skala ekonomi yang lebih efisien sehingga, ongkos angkut ekspor-impor minyak bisa lebih menguntungkan dan baik bagi ekonomi dalam negeri.
Tantangan dalam pengelolaan kapal-kapal besar adalah fasilitas galangan kapal yang harus memadai, , kompetensi SDM berstandar internasional di bagian operator, perancang hingga manajemen yang memenuhi berbagai standar internasional. Begitu juga urusan komersialnya seperti pendanaan asuransi baik untuk kapal, kargo dan awak kapal.
“Penyiapan dan kesiapan kita untuk berbagai faktor di atas memang masih belum lengkap dan cukup terlambat,” katanya.
Pada kesempatan tersebut, Saut juga mengungkapkan bahwa Indonesia baru saja masuk dalam kategori white-list dari grey-list Tokyo MOU yang menandakan kapal-kapal berbendera Indonesia yang diuji petik oleh sejumlah otoritas pelayaran di berbagai negara dianggap masih memenuhi syarat keselamatan.
Fakta tersebut menuntut agar semua proses bisnis, aset serta sumber daya yang kita miliki harus memenuhi berbagai aturan internasional yang cukup banyak itu.
“Saya kira usaha membuat entitas PIS menjadi perusahaan publik tidak lain supaya lebih terawasi, serta mengejar pemenuhan aspek regulasi internasional lewat kolaborasi dengan berbagai entitas internasional saya pikir baik dan wajar. Mengapa? Karena ini sudah menjadi business practice di dunia pelayaran, termasuk pelayarn migas internasional,” katanya.
Saut menyarankan, agar memberikan manfaat lebih besar kepada industri, PIS didorong memperkuat kompetensi SDM Indonesia, ikut mengembangan industri galangan kapal, komponen kapal, asuransi maritim, serta usaha utilitas kapal dan pelayaran lainnya di dalam negeri.
Upaya tersebut perlu dilakukan untuk menggeser opsi ketersediaan layanan-layanan yang selama ini berasal dari luar negeri sehingga kebutuhan nasional bisa dipenuhi dari dalam negeri sendiri dengan tetap menjaga pemenuhan standar internasional.
“Peta jalannya perlu dibuat dan punya target yang jelas,” kata dia.
Terkait ambisi PIS untuk menjawab tantangan menjadikan perseroan sebagai 'Integrated Marine Logistics Company', Saut menilai bahwa Pertamina ingin membuat bisnisnya lebih efisien dengan menekan biaya operational.
Mulai dari tahapan logistik migas (incremental-costs) seperti sisi hulu (lapangan migas, pengolahan/refinery) ke tahap midstream (tengah) yaitu terminal termasuk pengapalannya hingga ke down-stream (refinery penerima dalam negeri).
“Itu memang perlu dilakukan Pertamina. Apalagi dengan tugas harga minyak satu harga. Saya kira pilihannya memang salah satunya perlu ke opsi itu, yaitu pengendalian proses bisnis via unit usaha yang dapat mengontrol seluruh gerakan produk migas dari hulu ke sisi hilir,” ujarnya.