Tak hanya itu, Garuda Indonesia (GIAA) menyebut menambah penasihat keuangan Guggenheim Securities, LLC untuk mengevaluasi alternative strategis perusahaan menghadapi tantangan akibat pandemi.
Gunggenheim akan bekerjasama dengan penasihat Garuda yang sudah ada yakni PT Mandiri Sekuritas, Cleary Gottlieb Steen &Hamilton LLP dan Assegaf Hamzah & Partners.
”Kami percaya tim penasihat yang kami miliki akan mendukung upaya kami yamgh berusaha untuk keluar dari pandemi sebagai maskapai yang kuat dan memiliki modal yang baik,” ujar Ifran.
Kembali mengingatkan, Garuda Indonesia memiliki utang obligasi dari penerbitan Trust Certificates yang tidak dijamin sebesar 500 juta dolar AS.
Tercatat di Bursa Singapura, surat utang Garuda Indonesia (GIAA) ini dirilis 3 Juni dengan jangka waktu 5 tahun. Ini artinya pada 3 Juni 2021, utang ini jatuh tempo.
Sukuk ini memiliki tingkat suku bunga tetap tahunan sebesar 5,95 persen yang dibayar setiap 6 bulanan yang dimulai 3 Desember 2015 sampai dengan 3 Juni 2020
Saat itu, The Hongkong and Shanghai Banking Corporation Limited (HSBC) bertindak sebagai Penerima Delegasi, Agen Pembayar Utama.
Per 31 Desember 2019, saldo utang obligasi syariah ini mencapai 498,99 juta dolar AS
Banyaknya Tipe Pesawat hingga Masalah dengan Lessor, Ini Penyebab Utama Garuda Indonesia Sakit
Maskapai penerbangan Garuda Indonesia kini sedang mengalami kondisi krisis.
Perusahaan berkode saham GIAA tersebut diketahui memiliki utang sekitar Rp 70 triliun, dan akan terus membengkak seiring berjalannya waktu.
Diperkirakan setiap bulannya utang Garuda Indonesia bertambah sekitar Rp 1 triliun.
Baca juga: Bukan Cuma Garuda Indonesia, Maskapai Emirates Juga Boncos Gara-gara Pandemi Covid-19
Lalu, apa saja permasalahan yang dialami Garuda Indonesia sehingga memiliki utang sebanyak itu?
Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra mengatakan, masalah yang utama adalah terkait penyewaan pesawat atau lessor.