TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kegiatam importasi sumber bibit ayam (grand parent stock/GPS) ras pedaging yang dilakukan perusahaan peternakan terintegasi perlu dikendalikan dengan memperthitungkan kebutuhan konsumsi di dalam negeri yang akurat.
Upaya ini perlu dilakukan sebagai solusi jangka panjang guna menjaga keseimbangan supply demand ayam ras di masyarakat.
“Sesuai rekomendasi teman teman perternak, Kemendag diminta melakukan perhitungan ulang terkait kebutuhan impor GPS untuk tahun mendatang," ungkap Direktur Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting Kemendag Isy Karim dalam webinar Pataka di Jakarta yang diikuti Tribunnews, Selasa (17/8/2021).
Dengan demikian, tidak sekedar melakukan persetujuan importasi sebagaimana rekomendasi teknis Kementan.
Data menunjukkan, realisasi impor sumber bibit ayam di tahun 2018 sebesar 699.561 ekor. Kemudian di tahun 2019 sedikit menurun yakni 683.84 ekor.
Namun di tahun 2020 ,volume meningkat hingga 721.017 ekor. Sampai akhir Juli 2021, realiasi impor sumber bibit ayam mencapai 493.029 ekor.
Baca juga: BI Prediksi Inflasi Agustus 2021 Sebesar 0,04 Persen, Komoditas Telur Ayam Ras Jadi Penyumbang Utama
Atas keperluan itu, Isy Karim menyatakan, kementeriannya juga meminta kepada para peternak mandiri manyampaikan kebutuhan ayam umur sehari atau daily old chicken (DOC) dalam sehari.
Isy mengatakan, saat ini dibutuhkan kebijakan yang lebih mendasar guna mengenalikan produksi ayam ras di Tanah Air.
Baca juga: Kementan-PT Agro Nusantara Jaya Siapkan KUR bagi Petani dan Peternak di Bali, Total Rp 3 Triliun
Kebijakan pemangkasan telur tetas/cutting hatting egg (HE) usia 19 hari dan afkir dini bibit ayam/Parent Stock (PS) sedianya membantu menjaga stabilitas harga karkas ayam di pasaran.
Namun Ismy menilai importasi tanpa melihat lebih jauh daya beli masyarakat maka membuat over suplai daging ayam di pasar.
Baca juga: Ibas Sampaikan Keprihatinan Atas Kesulitan yang Dialami Para Peternak
Apalagi akibat dampak Pandemi Covid 19 membuat usaha hotel , restoran dan kafe (horeka) menutup operasinya.
Kondisi ini menambah merosotnya daya beli masyarakat untuk mengkonsumi daging ayam ras. Hal itu tercermin dari laporan Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020 merosot sebesar 36 persen.
Menurutnya, kebijakan stabilisasi yang dirilis Kementan justru memacu terhadap harga DOC di atas 6.000 per ekor.
Sementara, harga live bird di tingkat peternak terus melemah dikisaran Rp 9.000 per ekor akibat perpanjangan Pembatasan Pemberlakuan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat yang mendorong terjadinya over supply daging ayam.