TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Melambungnya harga batubara di pasar internasional, ternyata diiringi dengan kenaikan harga harga gas alam cair Liquefied natural gas (LNG) di wilayah Asia Pasifik.
Hal tersebut terjadi setelah Eropa mengalami krisis energi.
Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro mengatakan, kenaikan harga komoditas LNG hampir serupa dengan batubara.
Keduanya berpotensi memberi keuntungan bagi Indonesia.
Selain itu, kebutuhan LNG dalam negeri pun relatif bisa terpenuhi dari kemampuan produksi saat ini.
Baca juga: Atur Ulang, Impor Barang Pekerjaan Konstruksi hingga LNG Tidak Kena Pajak
"Sehingga ada yang bisa dimanfaatkan untuk memperoleh devisa," kata Komaidi kepada Kontan.co.id, Rabu (13/10/2021).
Menurut Komaidi, di tengah kondisi harga yang melonjak, kebutuhan domestik harus tetap jadi prioritas.
Jika kebutuhan domestik telah mencukupi maka sisanya dimungkinkan untuk diarahkan ke pasar ekspor.
Baca juga: Krisis Listrik di China Makin Memburuk, Harga Batubara Bakal Terus Terkerek
Komaidi melanjutkan, ada sejumlah skema kontrak yang umumnya berlaku untuk LNG.
"Ada yang sudah terkunci dan ada yang masih diindekskan pada harga tertentu," kata Komaidi.
Sebelumnya, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) sukses menjual 4 uncommited cargo dari Kilang Bontang ke pasar spot dengan harga cukup tinggi.
Deputi Keuangan dan Monetisasi SKK Migas Arief S. Handoko mengatakan, penjualan 4 uncommited cargo ini dilakukan pada September 2021 dan mendorong peningkatan penerimaan.
Baca juga: Optimalkan PLTA untuk Energi Terbarukan, Ini Tantangan Utama Indonesia
"Dengan rata-rata harga lebih dari 27 dolar AS per MMBTU, dengan estimasi penerimaan sekitar 250 juta dolar AS," kata Arief kepada Kontan.co.id, Selasa (12/10).
Di sisi lain, hingga kuartal III 2021 total produksi LNG mencapai 149,5 standar kargo.