TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Pemerintah Republik Indonesia telah menekankan untuk terus mengurangi pemakaian batubara.
Hal ini sebagai kesepakatan yang dicapai pada KTT COP26 di Glasgow.
Dalam kesepakatan tersebut, negara-negara yang turut serta diminta untuk mempercepat upaya untuk menghentikan secara bertahap penggunaan batubara, bukan menghapusnya.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ian Syarif mengungkapkan, rata-rata penggunaan batubara untuk bagian processing setiap pabrik sebesar 2 juta kg per bulan atau setara 2 ton.
Baca juga: Harga Batubara Acuan 215,01 Dolar AS Per Ton, ESDM: Level Tertinggi Dalam Puluhan Tahun Terakhir
Menurutnya, dalam menyikapi kesepakatan dalam KTT COP26 di Glasgow maka industri harus melakukan modernisasi dengan penggunaan mesin yang ramah lingkungan. Penerapan teknologi ini pun diakui telah digunakan oleh banyak negara.
"Sudah banyak teknologi tekstil dari negara Eropa dan China yang memakai heat recovery system dan teknologi ramah lingkungan yang mengurangi emisi karbon," ujar Ian kepada Kontan, Senin (15/11/2021).
Ian menambahkan, teknologi lainnya yakni wetscrubber yang memungkinkan penangkapan debu fly ash batubara dan mengkonversi co2 menjadi Sulphur Dioxide yg merupakan bahan baku industri yang bisa diterapkan.
Kendati demikian, menurutnya masih perlu kordinasi dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terkait hal ini.
Baca juga: Produksi Pupuk Bakal Berkesinambungan Setelah Harga Batubara Dipatok 90 Dolar AS Per Ton
Ian melanjutkan, dalam kondisi saat ini maka tidak bisa serta-merta menghilangkan penggunaan batubara karena belum ada alternatif energi selain gas bumi untuk menggantikan peran batubara.
Sementara itu, dari industri pengangkutan, Ketua Umum Indonesian National Shipowners’ Association (INSA) Carmelita Hartoto mengungkapkan, dengan rerata produksi batubara per tahun mencapai 400 juta ton maka pengangkutan batubara nasional oleh kapal-kapal curah dalam negeri bisa mencapai 240 juta ton.
"Belum termasuk sisanya yang untuk ekspor 160 juta ton, kan transhipment-nya menggunakan tug and barge dalam negeri juga," kata Carmelita kepada Kontan, Senin (15/11/2021).
Carmelita mengakui, kesepakatan pengurangan penggunaan batubara secara bertahap berpotensi memberi dampak pada industri pengangkutan kapal.
Baca juga: Permintaan Batubara Melonjak, BESS Belanja 3 Set Kapal Pengangkut
Kondisi ini pernah terjadi beberapa tahun silam ketika pasar ekspor lesu akibat anjloknya harga batubara. Ini kemudian berdampak pada banyaknya tug & barge yang tidak beroperasi.
Carmelita melanjutkan, diversifikasi pengangkutan komoditas mungkin saja dilakukan jika pengangkutan dari batubara lesu.
Kendati demikian, langkah ini tidak bisa begitu saja dilakukan karena masing-masing komoditas sudah punya market sendiri yang melayani.
"Tidak bisa kita serta merta untuk berebut kue akibat over supply. Strategy yang pas ya pengurangan armada secara bertahap pula," pungkas Carmelita. (Filemon Agung)