TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengatakan enam konfederasi dan 60 federasi serikat pekerja/buruh satu suara menolak kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2022.
Kelompok buruh akan melakukan aksi unjuk rasa serta mogok kerja nasional.
"Sudah disepakati tanggal 29 dan 30 November 2021 akan dilaksanakan gabungan aksi unjuk rasa di Istana Negara, di Balai Kota biang keroknya, dan super biang keroknya di Kementerian Ketenagakerjaan," kata Said, Senin (22/11/2021).
Aksi unjuk rasa akan melibatkan puluhan ribu buruh dari Jawa Barat, DKI Jakarta dan Banten.
"Kalau digabung dari konfederasi dan 60 federasi serikat pekerja jumlahnya adalah puluhan ribu buruh yang berasal dari pabrik dan perusahaan," tutur Said.
Konsentrasi aksi unjuk rasa akan dibagi di tiga wilayah.
Said juga menekankan para pengunjuk rasa harus tetap mematuhi protokol kesehatan sesuai aturan PPKM level 1 di DKI Jakarta.
Baca juga: Bantah Statement Menaker, KSPI Tegaskan Upah Buruh Indonesia Masih di Bawah Vietnam
"Teknis unjuk rasanya mungkin 10 ribu di Istana, 10 ribu di Balai Kota, 10 ribu Kemnaker. Ini nggak main-main, sungguh-sungguh ini, tentu aksi ini harus mempertimbangkan protokol kesehatan," tambahnya.
KSPI juga berharap elemen mahasiswa bisa bergabung menyampaikan aspirasi terhadap pemerintah.
Selanjutnya aksi mogok kerja nasional sudah disepakati mulai 6 Desember 2021 hingga 8 Desember 2021.
Said mengklaim sedikitnya 2 juta buruh/pekerja akan mogok kerja sebagai bentuk protes menolak ketetapan kenaikan UMP rata-rata 1,09 persen.
"Buruh yang akan mogok berasal dari lebih 100 ribu perusahaan di 30 provinsi dan lebih dari 150 kabupaten/kota. Termasuk juga kawan-kawan ojek online akan ikut bergabung, sopir trailer, buruh-buruh pelabuhan," tutur Said.
KSPI menggandeng sejumlah konfederasi buruh seperti Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Komite Politik Buruh Indonesia (KPBI), Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), hingga Gerakan Kesejahteraan Nasional (Gekanas).
Said menambahkan dasar hukum yang akan digunakan dalam aksi ini adalah Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.