Pakar hukum tata negara, Denny Indrayana, menilai putusan MK tersebut mencoba mengakomodir berbagai kepentingan.
Akibatnya menjadi ambigu, tidak konsisten, dan berpotensi menimbulkan perselisihan dalam implementasinya.
"Melakukan uji formil dengan Putusan MK 91—yaitu menilai keabsahan prosedur pembuatan undang-undang—bukan terkait isinya," ujar Denny dalam keterangannya, Sabtu (27/11/2021).
MK, tutur Denny, pada awalnya terkesan tegas ketika menyatakan bahwa UU Ciptaker bertentangan dengan UUD 1945, karena tidak sejalan dengan rumusan baku pembuatan undang-undang.
Namun, karena alasan memahami 'obesitas regulasi' dan tumpang tindih antar-UU, MK memberi permakluman inkonstitusionalitas itu diberi masa toleransi paling lama dua tahun.
Jika dalam dua tahun itu tidak dilakukan pembuatan berdasarkan landasan hukum yang baku, maka UU Ciptaker menjadi inkonstitusional secara permanen.
Denny lantas membeberkan sederet ambiguitas dalam putusan MK terkait UU Ciptaker.
Pertama, UU Ciptaker yang dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, masih diberi ruang untuk berlaku selama dua tahun.
Di antaranya karena sudah banyak diterbitkan aturan pelaksanaan dan telah pula diimplementasikan.
"Seharusnya, agar tidak ambigu, MK tegas saja membatalkan UU Ciptaker, dan kalaupun ingin memberi ruang perbaikan, itu tidak dapat dijadikan alasan untuk suatu UU yang dinyatakan melanggar konstitusi untuk tetap berlaku," katanya.
Ambiguitas kedua, dari 12 putusan yang dibacakan, MK menyatakan sepuluh di antaranya 'kehilangan objek' karena Putusan MK 91 sudah menyatakan UU Ciptaker inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional).
Ia lantas mempertanyakan objek mana yang hilang.
Pasalnya meskipun menyatakan bertentangan dengan konstitusi, MK masih memberlakukan UU Ciptaker maksimal dua tahun.
Sehingga, kata dia, ada kemungkinan isi UU Ciptaker tetap berlaku selama dua tahun tersebut.