Angka tersebut menunjukkan rasio kolokasi 1,5 kali dan menara Mitratel tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia dengan komposisi 57,3 persen berada di luar Pulau Jawa.
Lebih rinci lagi, rasio kolokasi menara perseroan di luar Pulau Jawa mencapai 1,39 kali dibandingkan di Jawa sekitar 1,64 kali.
Hal itu menggambarkan masih besarnya potensi pertumbuhan penyewaan menara anak usaha PT Telkom Indonesia Tbk (TLKM) ini, khususnya di luar Pulau Jawa.
Mitratel diperkirakan menguasai pangsa pasar sebesar 24 persen di tanah air, mengalami peningkatan sekira 17 persen di 2018.
Kemudian baru-baru ini, perusahaan meraih dana Rp 18 triliun dari hasil penawaran umum perdana atau Initial Public Offering (IPO) saham dengan melepas sebanyak 22,9 miliar saham atau setara 27 persen.
“Kami memperkirakan rata-rata pertumbuhan tahunan (CAGR) laba bersih Mitratel setelah IPO sebesar 44,8 persen untuk periode 2021 hingga 2023. CAGR pendapatan diperkirakan mencapai 10 persen,” tulis Nicholas dan Raymond.
Baca juga: Listing di BEI, Mitratel Ditargetkan Jadi Perusahaan Menara Terbesar di ASEAN
Tak hanya itu, Mitratel diproyeksikan sebagai perusahaan dengan net debt to EBITDA terendah sebesar 0,09 kali pada 2022.
Dengan posisi utang rendah itu, perusahaan memiliki kemampuan untuk mendapatkan pinjaman guna merealisasikan akuisisi menara dalam jangka panjang.
"Berbagai faktor tersebut mendorong Verdhana Sekuritas Indonesia merekomendasikan beli saham MTEL dengan target harga Rp 1.200. Target harga tersebut mengasumsikan EV/EBITDA sekitar 18,1 kali," tutupnya.
Target ini juga menggambarkan perkiraan kenaikan laba bersih perseroan menjadi Rp 965 miliar tahun ini dibandingkan realisasi tahun lalu Rp 602 miliar.
Begitu juga dengan pendapatan diprediksi tumbuh menjadi Rp 6,88 triliun dibandingkan perolehan 2020 sebanyak Rp 6,18 triliun.