TRIBUNNEWS.COM - Di era serba digital seperti saat ini, keterjangkauan akses internet telah menjadi salah satu kebutuhan penting untuk mendukung aktivitas harian masyarakat.
Terlebih, internet juga menjadi elemen penting yang dapat membantu mempercepat transformasi digital serta ekonomi digital untuk mampu bangkit dari dampak pandemi Covid-19 yang masih terasa hingga saat ini.
Terkait kebutuhan akan internet ini, menurut perbandingan yang dilakukan Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) ternyata harga layanan tarif internet di Indonesia masih termasuk dalam kategori terjangkau.
Ketua Umum MASTEL, Sarwoto Atmosutarno menjelaskan, di tengah stagnasi pertumbuhan pendapatan yang dihadapi oleh penyedia, Indonesia memiliki tarif rata-rata terendah untuk Mobile Broadband (MBB) berbasis volume, yaitu sebesar USD 0,31/GB pada tahun 2020.
Tarif MBB Indonesia ini lebih murah dari Malaysia yang bertarif USD 0,56, dan Brasil, yaitu USD 1,16, bahkan telah mengalami penurunan tarif dari USD 0,43/GB yang tercatat pada data tahun 2019 dari McKinsey.
Sementara itu, untuk layanan internet Fixed Broadband (FBB) yang didominasi Indihome, Sarwoto menjelaskan bahwa MASTEL menggunakan dua acuan ukuran untuk menilai harganya.
“Pertama, Indonesia menempati posisi termahal di ASEAN dengan tarif per Mbps antara Rp 14.895 – Rp 43.500 pada 2019 (data CupoNation). Kedua, dengan tarif bulanan sebesar USD 29,01 untuk tarif FBB, Indonesia sudah menempati peringkat 53 termurah dari 211 negara (disurvei oleh cable.co.uk),” jelas Sarwoto.
Setiap perspektif, tambah Sarwoto, dapat dipergunakan tergantung pada kepentingan analisis masing-masing konsumen. Terlebih, MASTEL juga melihat telah ada upaya yang dilakukan oleh para penyelenggara untuk terus menurunkan tarif sesuai tingkat keekonomian.
Kehadiran negara untuk percepatan pemerataan internet
Sarwoto menjelaskan, pesatnya perkembangan teknologi membuat pasar internet Indonesia dipenuhi oleh layanan internet Fixed Broadband (FBB) dan Mobile Broadband (MBB), bahkan konvergensi baik wireless maupun non-wireless.
“Kami sangat bersyukur karena Indonesia sebagai negara berkembang telah memasuki pasar internet broadband, pasar dengan permintaan kecepatan lebih dari 2MB/s, selama lebih dari sepuluh tahun,” tambahnya.
Namun, kondisi geografis Indonesia yang unik environment perhitungan EBITDA bisnis infrastruktur bandwidth yang stagnan menjadi tantangan dari pemerataan akses internet ini.
Bahkan pertumbuhan pendapatan bisnis infrastruktur telekomunikasi mengalami penurunan sebesar 2-3% selama tiga tahun terakhir, kecenderungan selisih Return on Investment Capital (ROIC) dengan Weighted Average Cost of Capital (WACC) menurun dan tinggal sebesar 1-2%.
Maka dari itu, menurut Sarwoto, sudah saatnya Pemerintah mendorong peningkatan kesehatan dan kesinambungan industri bagi para operator internet.
Salah satu cara yang dapat ditempuh yaitu dengan mempercepat regulasi konsolidasi operator telekomunikasi, infrastructure sharing, area kolaborasi di antara operator jaringan dan provider OTT (Over the Top), serta mengurangi beban retribusi untuk penyelenggaraan dan penggelaran jaringan (biaya regulasi).
“Tidak dapat disangkal bahwa Negara semakin bergantung pada layanan internet yang diserahkan kepada mekanisme pasar di mana pilihannya bergantung pada kebutuhan konsumen,” ungkap Sarwoto.
Namun, disamping itu, Sarwoto mengungkapkan MASTEL juga mengapresiasi kehadiran negara untuk percepatan internet di pedesaan dan terpencil, serta Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) yang sangat membutuhkan bandwidth internet tanpa gangguan dan aman.
“Akses internet ini juga diperlukan untuk membangunkan desa dan UMKM yang menjadi tumpuan untuk memajukan kesejahteraan masyarakat serta juga diperlukan untuk pelayanan penanggulangan bencana dan pertahanan dan keamanan nasional,” tutup Sarwoto.