Hal yang paling butuh adaptasi menurut Rachmat adalah dari segi bahasa, cara menulis, hingga mengutarakan pendapat.
“Ya namanya hidup di negara orang, tentunya banyak penyesuaian termasuk kendala di bahasa juga meskipun saat di sekolah dan saat TOEFL sudah bagus, itu tentunya butuh penyesuaian,” jelas dia.
Seperti mahasiswa lainnya, Rachmat Kaimuddin juga sempat melakukan pekerjaan-pekerjaan lepas saat menjadi mahasiswa. Dia sempat bekerja sebagai grader, hingga menjaga perpustakaan yang gajinya hanya cukup untuk membeli makanan.
“Kalau pertama kali saya kerja, itu pas kuliah, pernah jadi grader dan bahkan menjadi penjaga perpustakaan. Itu gajinya cuma cukup untuk beli makanan,” kata Rachmat.
Lulus di tahun 2001, Rachmat sempat bekerja di salah satu perusahaan chip dengan posisi design enginer. Selang menjalani kerja di AS, tahun 2003 ia kembali ke Indonesia dan memulai karier sebagai Consultant di Boston Consulting Group Jakarta.
Tak mau buka-bukaan soal gaji, Rachmat membandingkan bahwa gaji yang ia terima di Indonesia adalah separuh dari gajinya saat ia bekerja di AS. Namun, dengan semangat nasionalis yang tertanam di bangku sekolah ia bertekad untuk turut berkontribusi untuk pembangunan negeri dengan kembali ke Indonesia dan memulai karier di tanah air.
“Dari pada jemput angka, saya bilang pas saya kerja di AS dan saya mau balik ke Indonesia, gaji saya berkurang kira-kira setengahnya. Jadi memang ada pengurangan gaji. Tapi karena saya memang ingin kerja di Indonesia yaudah engak apa-apa mulai dari awal lagi,” jelas dia.
Di tahun 2006, Rachmat melanjutkan studinya Magisternya selama dua tahun di Stanford University Graduate School of Business mengambil gelar Master of Business Administration (MBA) hingga tahun 2008. Rachmat bercerita saat itu startup di Indonesia masih jarang, berbeda dengan AS yang mana dirinya sudah terpapar teknologi-teknologi startup kala itu.
Lanjutkan studi di Universitas Stanford yang merupakan kawasan perusahaan-perusahaan rintisan teknologi yang dikenal sebagai Silicon Valley, Rachmat cukup sering berbaur dengan teman-temannya yang bekerja di perusahaan startup teknologi.
“MIT itu seperti universitas yang sangat kental dengan teknologi, demikian juga dengan Stanford yang berada di Silicon Valley. Disitu ada Google, Apple dan perusahaan teknologi lainnya. Jadi pas ambil MBA, kita banyak terpapar dunia starup. Cuma waktu itu di tahun 2006-2008 belum ada starup yang gede, jadi saya banyak dengar dari teman-teman yang bekerja di startup,” lanjutnya bercerita.
Agar lebih jelas, Rachmat Kaimuddin merinci saat ia melanjutkan S2, Apple baru saja merilis generasi pertama iPhone. Rilis iPhone diikuti dengan rilis smartphone android. Barulah kemudian banyak perusahaan mengembangkan aplikasi. Namun, saat kembali ke Indonesia hal tersebut masih belum ada.
Kembali ke Indonesia pasca studi S2 tahun 2009, Rachmat menempati posisi Managing Director untuk PT Cardig Air Services sembari juga mengemban posisi Principal di Quvat. Di tahun 2012 ia juga sempat menduduki posisi Vice President di Baring Private Equity Asia, dan kemudian tahun 2014 ia menduduki posisi Chief Financial Officer / CFO di PT Bosowa Corporindo. Tahun 2016 sebagai Managing Director PT Semen Bosowa Maros.
Di 2018, Rachmat menjadi Direktur Keuangan dan Perencanaan di PT Bank Bukopin Tbk. Dimana sebelumnya, tepatnya di 2014, Rachmat telah menjadi Komisaris di Bank Bukopin sampai ditunjuk menjadi direktur.
Pria kelahiran 1979 yang sempat bercita-cita menjadi pilot, jenderal dan insinyur ini mulai bergabung di Bukalapak pada tahun 2020. Dia bilang, pihak Bukalapak meminta dirinya untuk mengembangkan Bukalapak menjadi perusahaan yang tidak hanya besar namun juga sustainable untuk jangka panjang.