TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Ketua Umum Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi), Otto Hasibuan menyoroti sejumlah permasalahan dalam Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajikan Pembayaran Utang (PKPU).
“Yang saya sampaikan ini hanya beberapa bagian saja dari beberapa masalah. Panitia sudah buat TOR-nya ada 12 masalah,” kata Otto Hasibuan saat menjadi pembicara kunci dalam webinar bertajuk “Masa Depan Kepailitan dan PKPU di Indonesia” gelaran Bidang Pendidikan DPN Peradi pada Kamis (17/2/2022).
Otto menjelaskan, lahirnya UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU ini merupakan “ketundukan” Indonesia kepada International Monetary Fund (IMF) saat mengalami krisis. Para kreditur, khususnya asing mempunyai banyak tagihan dan uangnya belum bisa kembali.
Baca juga: Bantah Akan Gelar PHK Massal, Garuda: Kami Masih Fokus Proses PKPU
Pada waktu itu dibahas bahwa seharusnya yang boleh mengajukan permohonan pailit dan PKPU itu adalah debitur karena mereka yang mengetahui keadaan usahanya atau kesanggupan membayar utang dan sebagainya.
“Karena situasi politik pada waktu itu, para pihak asing itu memberikan kesempatan pada UU itu siapa yang boleh megajukan pailit itu adalah juga termasuk kreditur,” ujarnya.
Setelah UU tersebut disahkan, pihak yang berwenang mengajukan permohonan kepailitan dan PKPU tersebut, saat ini menjadi instrumen untuk menagih utang meskipun harus dipahami bahwa perlu juga diberikan perlindungan bagi kreditur.
Baca juga: PKPU, Dirut Garuda Imbau Kreditur Optimalkan Periode Pendaftaran Penagihan Kewajiban Usaha
“Oleh karena itu, Apindo mengajukan petisi atau permohonan agar diminimalisir kepailitan ini. Bahkan ada usulan untuk merevisi UU Kepailitan,” ujarnya.
Menurutnya, pihak yang berhak mengajukan kepailitan dan PKPU ini perlu dikaji ulang. “Apakah kewenangan ini cukup diberikan hanya kepada debitur saja, atau tetap dipertahankan, kreditur tetap bisa menggunakannya. Ini adalah menjadi persolan yang jadi tren akhir-akhir ini,” katanya.
Persoalan lainnya, UU tersebut telah mengubah paradigma UU sebelumnya. Sebelum ada UU Kepailitan dan PKPU, orang berpikir bahwa pailit itu benar-benar tidak mempunyai sesuatu apapun, termasuk aset untuk membayar.
“Jadi anggapan umum kalau orang punya aset banyak walaupun dia punya utang, katakan asetnya Rp100 miliar, tetapi utangnya Rp100 juta, orang tidak berpikir orang itu pailit karena asetnya masih banyak,” katanya.
Baca juga: Lolos dari Gugatan PKPU, Ini Tanggapan Garuda Indonesia
Setelah ada UU Kepailitan dan PKPU, paradigma itu runtuh karena ketentuannya kalau ada 2 utang jatuh tempo yang bisa ditagih tetapi tidak dibayar, maka perusahaan yang ditagih itu cukup memenuhi syarat untuk dinyatakan pailit.
“Maka akhirnya orang berpikir meskipun orang itu punya asetnya Rp1 triliun, tetapi utangnya misalnya Rp10 miliar tidak dibayar, tetap saja pailit. Terjadi pergeseran bagaimana seseorang dinyatakan pailit atau tidak,” ujarnya.
Akibatnya, lanjut Otto, tidak ada ambang batas (treshold) jumlah utang dengan aset yang dimiliki suatu perusahaan atau seseorang untuk dapat dinyatakan pailit karena hanya dibuktikan dengan 2 utang yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih tetapi tidak dibayar.
“Ini menjadi suatu persoalan, mau ke mana kondisi seperti itu, apakah masih layak definisi utang seperti itu, atau apakah harus ada treshold yang harus kita pakai ukurannya,” kata Otto.