TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Kondisi geopolitik yang terjadi saat ini membuat harga komoditas batubara melambung tinggi.
Dengan tren demikian maka bakalan mendorong perusahaan batubara untuk mengoptimalkan produksi.
Harga pasar batu bara dunia tengah mengalami lonjakan yang signifikan, Harga batu bara dalam hal ini ICE Newcastle (Australia) naik sampai pada level 358,45 dolar AS per metrik ton pada Kamis (3/3/2022) bahkan sempat menyentuh 446 dolar AS per ton pada Rabu (2/3/2022).
Baca juga: Kedelai Mahal, Perajin Tempe Tahu Mogok, Pemerintah Disarankan Barter Kedelai dengan Batubara
Direktur Eksekutif Asosiasi Perusahaan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia mengungkapkan, dalam kondisi saat ini setidaknya perusahaan batubara bakal mengoptimalkan produksi demi mengejar target produksi untuk kuartal I 2021.
"Paling tidak mengejar target produksi yang sempat terhambat larangan ekspor di Januari," kata Hendra kepada Kontan, Senin (7/3/2022).
Hendra melanjutkan, ekspor batubara pada periode Januari 2022 hingga Februari 2022 pun lebih rendah ketimbang tahun-tahun sebelumnya.
Baca juga: Polres Batubara Berhasil Tangkap Pengedar Narkoba, Polisi: Pergerakannya Licin
Merujuk data Minerba One Data Indonesia (MODI), produksi Januari-Februari pada tahun 2022 mencapai 73,47 juta ton. Jumlah ini turun 20,82% year on year (yoy) dari tahun sebelumnya. Pada periode Januari-Februari 2021 produksi batubara mencapai 92,79 juta ton.
Adapun, ekspor batubara untuk Januari sampai Februari 2022 mencapai 18,84 juta ton atau turun 66,36% yoy. Ekspor batubara pada Januari-Februari 2021 tercatat mencapai 56,01 juta ton.
Hendra menambahkan, kenaikan harga yang terjadi bersifat tidak normal sehingga sulit memprediksi kenaikan harga ini akan berlangsung berapa lama.
Kendati demikian, dengan tren harga ini maka Hendra menilai ada peluang untuk revisi Rencana Kerja dan Anggaran Belanja (RKAB) untuk tahun ini.
Baca juga: Sudah Dapat Paten, Pupuk Batubara Buatan Indonesia Mulai Ekspor ke AS
"Untuk peluang revisi RKAB dimungkinkan. Revisi target produksi itu kewenangan pemerintah tentunya," kata Hendra.
Sementara itu, Direktur PT ABM Investama Tbk (ABMM) Adrian Erlangga mengungkapkan, kenaikan harga berpotensi berlangsung untuk waktu lama.
"Strategi kami konsisten untuk menjaga volume produksi sesuai rencana selain untuk melakukan efisiensi semua lini," kata Adrian kepada Kontan, Senin (7/3).
Adrian pun memastikan ABMM senantiasa memenuhi kewajiban DMO.
Baca juga: Cegah Krisis Pasokan Batubara, Pemerintah Diminta Bentuk Badan Khusus DMO
Kontan mencatat, untuk tahun ini ABMM menargetkan volume dan penjualan batubara minimal 14 juta ton dan volume overburden removal (OB) tumbuh minimal 25% dibandingkan realisasi 2021.
Sebelumnya, Head of Corporate Communication PT Indika Energy Tbk (INDY) Ricky Fernando mengungkapkan, pihaknya menargetkan dapat mencapai target produksi untuk tahun ini.
"Target produksi Kideco tahun ini sebesar 34 juta ton, sedangkan MUTU sebanyak 1,8 juta ton," kata Ricky, belum lama ini.
Perang Rusia-Ukraina
Rally harga batubara belum menunjukkan tanda-tanda berakhir. Sepanjang Februari, harga batubara sudah menguat sebesar 38,22% secara month over month. Kini memasuki Maret, harga batubara kembali tancap gas dengan menyentuh level US$ 446 per ton.
Bahkan, jika dihitung secara year to date, harga batubara telah menguat hingga 233,83%. Direktur TRFX Garuda Berjangka Ibrahim Assuaibi menduga penguatan harga batubara akibat musim dingin yang berkepanjangan di negara yang memiliki 4 musim baik di Asia, Asia Tengah, Eropa, Amerika serta akibat perang yang berkepanjangan antara Rusia dan Ukraina.
"Jadi awalnya musim dingin itu seharusnya bulan Februari ini udah selesai tetapi kenyataannya musim dingin ini hingga sekarang ini masih musim hujan. Terutama di seantero negara yang memiliki 4 musim baik di Asia, Asia Tengah, Eropa, ataupun Amerika. Mengalami satu permasalahan musim salju yang ekstrim sehingga kebutuhan batu bara mengalami kenaikan" ujar Ibrahim.
Di sisi lain, Ibrahim menyampaikan perang di Ukraina dan Rusia ini membuat suatu ketegangan baru yang dimana kebutuhan minyak mentah dunia ini semakin tinggi sedangkan produksinya stagnan.
Menurut perkiraan Ibrahim saat produksi stagnan sedangkan harga minyak mentah dunia di atas US$ 100 per barel dan harga gas alam yang juga masih tinggi, orang-orang akan beralih ke batubara.
"Bahwa kebutuhan batubara di setiap negara tinggi sekali pada saat terjadi perang berarti suplai transportasi untuk batubara ke laut Atlantik ke Eropa ini terhambat akibat perang sedangkan hampir semua negara di dunia itu menggunakan pembangkit listrik tenaga uap," tutur Ibrahim Ibrahim juga menyampaikan Cina merupakan salah satu negara yang memasok listrik di Asia Tengah sehingga dengan adanya krisis yang tejadi di Ukraina berdampak juga terhadap Tingkok yang merupakan salah satu importir batu bara terbesar di dunia.
Menurut Ibrahim harga batubara diperkirakan akan mencapai lebih dari 490 dolar AS per ton. "Ya kalau batu bara sudah mencapai 446 dolar AS per ton, bisa saja mencapai 500 dolar AS per ton," ucap Ibrahim.
Ibrahim juga menyampaikan beberapa negara juga memproduksi gas alam, minyak dan batubara tetapi tidak memiliki kecukupan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri sehingga harus melakukan impor dan akan memfokuskan diri untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dan menunda impor dari luar.
Selain itu Ibrahim juga menyakinisalah satu cara untuk menurunkan harga batubara adalah dengan perdamaian antara Rusia dan Ukraina sehingga jalur perdagangan kembali normal.
"Kalau Rusia-Ukraina sudah kembali normal kemudian sudah ada pembangunan-pembangunan di Ukraina. Pada saat Ukraina sudah selesai perangnya ya harga akan balik lagi, karena Rusia akan menarik pasukannya kembali dan hubungan diplomatik antara Rusia, Eropa, Inggris dan Amerika akan membaik," tutup Ibrahim.
Dampaknya ke Emiten
Batubara menjadi salah satu komoditas energi yang harganya meroket sepanjang tahun ini. Harga batubara kini masih bertahan di atas level 300 dolar AS per ton.
Alhasil, kenaikan harga batubara turut menambah beban emiten semen.
Direktur dan Sekretaris Perusahaan PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk (INTP) Antonius Marcos menyebut, kenaikan harga batubara akhir-akhir ini memang cukup memberatkan. Sebab, komponen energi merupakan salah satu komponen utama biaya produksi semen.
Dalam menghadapi kenaikan harga batubara, INTP melakukan antisipasi dengan melakukan bauran atau mixing batubara untuk mendapatkan campuran batubara dengan biaya yang paling efisien. Di samping itu, INTP juga terus melakukan upaya peningkatan konsumsi energi alternatif.
Marcos mengatakan, untuk mempertahankan margin keuntungan, tentunya menaikkan harga jual adalah sesuatu hal yang tidak bisa dihindari dan harus dilakukan.
“Dan kami akan melakukannya secara bertahap dan berhati hati,” terang Marcos kepada Kontan.co.id, Sabtu (5/3).
Di sisi lain, Marcos mengatakan, sejauh ini INTP belum menikmati harga batubara dengan skema domestic market obligation (DMO).
Secara hitam di atas putih, pemerintah memang menerapkan harga batubara untuk industri semen maksimal US$ 90 per ton. Namun kenyataannya, para pemain batubara tidak serta langsung mengikuti arahan dari Pemerintah tersebut.
“Oleh karena itu kami sangat berharap, Pemerintah benar-benar melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan DMO ini, sehingga semua pabrikan semen dapat mendapatkan manfaat yang sama,” pungkas dia.
Dalam keterangannya, Direktur Utama PT Solusi Bangun Indonesia Tbk (SMCB) Lilik Unggul Raharjo mengatakan, selain kondisi kelebihan pasokan atau overcapasity dan pandemi yang masih berlanjut, industri semen juga mengalami tantangan kenaikan harga batubara di 2021 akibat krisis energi global.
Kenaikan harga ini berdampak pada biaya energi yang berkontribusi sekitar 30% pada biaya produksi.
Untuk itu, anak usaha PT Semen Indonesia Tbk (SMGR) ini akan berfokus pada inisiatif-inisiatif berorientasi pembangunan berkelanjutan, mulai dari aplikasi digitalisasi untuk operasional yang efisien, pemanfaatan bahan baku dan bahan bakar alternatif untuk meningkatkan efisiensi penggunaan batubara, dan menurunkan emisi karbon.
Kepala Riset Yuanta Sekuritas Chandra Pasaribu menilai, dampak kenaikan harga batubara terhadap emiten semen memang cukup besar. Sebab, biaya batubara bisa menyumbang sekitar 15% sampai 20% dari total biaya.
“Jadi semisal harga batubara naik 100%, harus ada kenaikan harga jual 10% sampai 16%, untuk menjaga margin,” terang Chandra, Sabtu (5/3). Jika emiten semen menaikkan harga di bawah rentang tersebut, Chandra menilai margin EBITDA-nya akan menurun.
Chandra menilai, selama krisis Rusia dan Ukraina masih berlangsung, harga batubara diperkirakan masih tetap tinggi. Chandra memasang sikap netral terhadap sektor semen. Untuk saat ini, dia belum merekomendasikan saham sektor semen. (Kontan/Filemon Agung/Akhmad Suryahadi)