Laporan Wartawan Tribunnews.com, M Zulfikar
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi VII DPR RI Mukhtarudin mengatakan perang Rusia-Ukraina bisa berimbas pada kenaikan harga minyak dunia (crude) dan beberapa komoditas migas lainnya.
Harga minyak mentah acuan dunia melonjak lebih dari 8 persen pada perdagangan Kamis (17/3/2022) waktu AS. Pasar minyak bangkit usai lesu beberapa hari terakhir, ditopang oleh pelemahan stok dalam beberapa pekan ke depan akibat sanksi terhadap Rusia.
Minyak mentah berjangka Brent meroket 8,79 persen ke posisi 106,64 dolar AS per barel, menjadi kenaikan tertinggi sejak pertengahan 2020.
Baca juga: SoftBank Mundur dari Proyek IKN, Anggota DPR: Jangan Kejar Target dengan Perbesar Dana APBN
Sementara itu, minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) juga melonjak 8,35 persen menjadi 102,98 dolar AS per barel.
"Melonjaknya harga minyak dunia tersebut bisa memicu tekanan terhadap APBN dan anggaran negara, khususnya terkait subsidi energi dan nilai kompensasi produk penugasan (JBKP)," kata Mukhtarudin, Jumat (18/3/2022).
Baca juga: Pengamat: Ada Kelompok Olah Isu Minyak Goreng Jadi Bahan Serangan Politik
Apalagi, lanjut Mukhtarudin, mengingat Indonesia merupakan net-Importir BBM, maka secara konsolidasi kenaikan harga minyak tidak terlalu memberikan keuntungan secara bisnis hilir.
"Jadi kondisi kenaikan harga minyak dunia bersamaan dengan program pemulihan ekonomi negara, sehingga terjadi kenaikan demand yang cukup signifikan," tutur Mukhtarudin.
Namun, politisi Golkar Dapil Kalimantan Tengah ini bilang harga crude dan bahan baku juga mengalami kenaikan sehingga terjadi dilematis untuk mengambil keputusan menaikkan harga.
Untuk itu, anggota Banggar DPR RI ini menyampaikan bahwa dengan melihat kondisi masyarakat saat ini memang belum memungkinkan untuk menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM).
"Mengingat daya beli masyarakat masih rendah dan ditambah lagi dengan naiknya harga-harga komoditas pangan, pasti akan sangat memberatkan masyarakat jika harga BBM dinaikan," kata Mukhtarudin.
Namun jika pemerintah terpaksa harus menyesuaikan harga solar bersubsidi dan BBM, lanjut Mukhtarudin, maka sebagai antisipasi dampak sosial masyarakat, anggaran kompensasi untuk produk BBM bersubsidi & JBKP yang diberikan kepada Pertamina dapat diubah bentuknya menjadi bantuan langsung tunai kepada masyarakat kurang mampu atas kenaikan harga BBM tersebut.
"Kemudian perlu dilakukan edukasi kepada masyarakat bahwa harga minyak saat ini sangat tinggi, sehingga diharapkan agar masyarakat menggunakan BBM dengan bijak dan hemat sesuai keperluannya," ujar Mukhtarudin.
Kendati demikian, Mukhtarudin mendorong pemerintah untuk memastikan penugasan BBM PSO dan JBKP ke PT Pertamina tidak menimbulkan kerugian bagi pertamina dan mengevaluasi besaran nilai subsidi dan kompensasi.
"Kemudian, Pemerintah perlu mempercepat pembayaran piutang subsidi dan kompensasi periode sebelumnya untuk perbaikan cashflow Pertamina," tutur Mukhtarudin.