Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ismoyo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Indeks harga konsumen (CPI) Amerika Serikat pada Maret 2022 terpantau melesat hingga mencapai 8,5 persen.
Angka ini mencetak rekor tertinggi sejak tahun 1981 lalu.
Meski pada Februari lalu, CPI AS sudah terpantau naik di angka 7,9 persen, namun karena harga pada perdagangan global makin melaju pesat membuat angka CPI ikut terkerek naik ke puncak tertinggi.
Baca juga: Pecahkan Rekor Inflasi Hingga Tembus 8,5 Persen, Ekonomi AS Makin Dihantui Jurang Resesi
Kenaikan ini pun menandakan adanya inflasi serius yang tengah dihadapi AS.
Departemen tenaga kerja AS pada Selasa (12/4/2022) menyebut inflasi ini terjadi imbas pandemi, serta memanasnya konflik Rusia dan Ukraina, hingga mendongkrak naiknya harga-harga di berbagai komoditas dunia seperti energi, pangan, dan logam.
Lalu apa dampaknya bagi Indonesia?
Ekonom Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira mengungkapkan, hal tersebut tentunya juga berdampak terhadap perekonomian di Indonesia.
Setidaknya, terdapat 5 dampak yang dirasakan.
Pertama, kenaikan inflasi di AS akan menyebabkan biaya produksi berbagai kebutuhan pokok, khususnya barang impor akan naik signifikan.
Sementara Indonesia merupakan pengimpor gandum, susu, mentega, keju, jagung dan kedelai yang cukup besar dari AS.
Baca juga: Antisipasi Memburuknya Inflasi dan Krisis Ekonomi, Sri Lanka Gandakan Suku Bunga
“Yang sulit adalah produsen, mau naikkan harga tapi belum tentu konsumen daya belinya siap,” ungkap Bhima saat dihubungi Tribunnews, Rabu (13/4/2022).
Kedua, inflasi di AS menyebabkan terjadinya imported inflation atau naiknya harga barang-barang impor karena biaya impor naik signifikan.
Bhima mengatakan, yang menanggung naiknya harga kebutuhan pokok tersebut adalah masyarakat kelas menengah bawah, sehingga daya beli turun dan mengancam naiknya jumlah penduduk miskin baru.